Mohon tunggu...
jajang r kawentar
jajang r kawentar Mohon Tunggu... -

pembina Komunitas Sastra Lembah Serelo Kabupaten Lahat Sumatera Selatan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Willem Kootstra: "What's The Right Thing To Do"

29 Oktober 2017   00:09 Diperbarui: 29 Oktober 2017   01:23 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pameran Lukis Abstrak Willem Kootstra di Gallery Hotel Prawirotaman II Yogyakarta dibuka Jumat, 27 Oktober 2017 lepas Isya oleh Ali Umar. Apa yang membedakan lukisan abstrak pelukis Indonesia dan pelukis Belanda kelahiran Bandung? Tentu saja akan dapat membedakannya dan merasakannya dari 25 karya yang dipajang di pameran tersebut. Spirit berkarya dan kesungguhan dalam memilih jalan abstrak ini menjadi sangat penting diapresiasi.

Saya sedikit menyuguhkan dari sekian banyak yang mestinya dapat direpresentasikan menjadi tulisan. Pengamatan yang biasa dari hasil beberapa kali pertemuan dengan Willem Kootstra. Ini tulisan kali ke dua saya yang sebelumnya tahun 2014 menulis tentang pameran tunggalnya Lissez Faire!     

Kini saatnya, "What's The Right Thing to Do?" Ungkap Willem. "Orang dulu jika tidak punya masalah, dia tidak bisa melukis. Jadi pelukis harus punya masalah dulu baru melukis. Coba saja pelukis tidak makan 5 hari dia juga tidak bisa melukis," kata Willem Kootstra, dikediamannya saat berbincang sampai larut.[i]  Sepertinya dia bercanda. Bagaimana memaknai kalimat yang dilontarkan ini, silahkan saja menafsirkannya.

Ada beberapa lontaran Willem Kootstra yang tercatat dalam pertemuan malam itu. kata-kata atau gaya bahasa dalam berbicara merupakan alam bawah sadar yang memberi nilai penting pada kesatuan karya. "Kamu tidak perlu mengerti lukisan, saya sendiri tidak mengerti, tapi saya merasakannya." Hal ini terlontar ketika dia sedang berbicara masalah lukisan abstrak yang telah diciptakannya. Dia mengatakan kalau dirinya sangat senang dengan warna-warna kontras. Dia mempercayai  ada banyak gambar ketika mata melihat, seperti ungkapan Sam Francis, pelukis abstrak kelahiran California 1923.

Malam itu Willem Kootstra banyak bercerita, bercanda dengan serius, mengungkapkan pengalamann belajar dengan para maestro seni abstrak dunia ketika ia tinggal, bekerja dan berkarya di Belanda , bagaimana dia menemukan inspirasi, dan bercerita uneg-unegnya.

 

"Tidak ada spontanitas kalau orang berpikir, berpikir dulu baru bekerja." Dia menjelaskan tahapan dalam melukisnya. Dia berusaha menetralisir diantara spontanitas dan berpikir sehingga balance. "Karena kalau spontan terlalu cepat jadi tidak bisa berpikir, kalau terlalu spontan itu menjadi Chaos."

Dari wajah dan sorot matanya terpancar semangat jiwanya menggebu. Diusia 78 pengabdiannya terhadap lukis abstrak semakin memperjelas kehendaknya mewarnai dunia seni dan kesungguhan berkaryanya. Dalam kesehariannya melukis melukis dan melukis, yang merupakan sinonim dari Bekerja bekerja dan bekerja. Semangat melukis menggantikan semangat bekerja itulah Willem Kootstra kini, sejak pensiun dari pekerjaannya di rehabilitasi anak-anak penderita cacat.

Melukis menggantikan rutinitas pekerjaannya, selain itu melukis merupakan keinginannya yang luhur sejak lama. Semangat melukis menjadi bagian resep panjang umur, segala sesuatu yang menyentuh rasa dan mengganggu pikirannya tumpah dalam bidang kanvas. Willem Kootstra berusaha memaksimalkan kemampuan tubuh, kemampuan berpikir, kemampuan berekspresi dan semua itu difungsikannya dengan baik.

Selagi muda, tidak bisa tidur di malam hari menjadi khawatir karena esok paginya harus bekerja. Kini ketika tidak bisa tidur, dia akan habiskan waktunya untuk melukis. Berkarya adalah teman dialognya tanpa pikir apakah karyanya akan dikoleksi orang atau tidak. Lukisan sebagai kekayaan intelegensi yang tak ternilai yang akan diwariskannya kelak.

"Orang pinter dia akan beli lukisan ketika pelukis itu belum punya nama," katanya.

Antara Cinta, Lukisan dan Samiyati 

Samiyati perempuan Yogyakarta, istri Willem Kootstra yang dinikahinya pada tahun 2003 menjadi rahasia intensitasnya dalam melukis. Pada 1996 Willem Kootstra datang ke Indonesia dan menetap di Kota Yogyakarta. Pada 2003 berlibur ke Belanda, kemudian kembali ke Yogyakarta dan menikah dengan Samiyati, kemudian memiliki putri kembar, setelah itu Willem tidak pernah lagi ke Belanda. Dia menemukan Samiyati yang merupakan bagian dari kenyamanan hidupnya dalam berekspresi dan bersosialisasi di tanah Jawa.

Kekuatan energi Samiyati tidak bisa diragukan lagi dalam memberikan semangat dan memberikan kesempatan yang luang bagi suaminya yang memiliki keinginan mengekspresikan gagasan-gagasannya ke atas kanvas. Tanggapan atau penghargaan serta penilaian Samiyati dan putrinya yang kembar membuat semakin kuatnya karya-karya yang dihasilkannya. Kekuatan sebuah cinta dan kasih sayang yang menggelora dalam keluarganya itu mendorong Willem Kootstra tetap berkarya, dapat menumpahkan cat, menumpahkan segala rasa dan pikirannya ke bidang kanvas.   

Semenjak pernikahannya dengan Samiyati, empat kali pameran tunggal telah dilakukan, pada 2003 ia berameran tunggal di Rumah Budaya Tembi, 2014 pameran tunggal "Laissez Faire!" di Nalarupa, 2015 pameran tunggal "Everything is WrongEverything is Excellent" di Luden Art Space, dan kini pada 2017 adalah pameran tunggalnya yang ke empat "What's The Right Thing to Do" di Hotel Gallery Prawirotaman Yogyakarta. 

Willem Kootstra masih terus berproses dengan daya cipta lukis abstraknya, dan menunjukkan kepada masyarakat seni rupa bahwa spirit serta kreasinya terus mengalir.  Pameran tunggal kali ini sebagai penanda eksistensinya atas apa yang diperjuangkan serta mempertahankan terhadap dunia lukis abstraknya.

Kesuksesan suami sangat bergantung kepada siapa istri pendampingnya. Pekerjaan suaminya kini sebagai seniman, sebagai pelukis. Samiyati telah menunjukan kemampuannya sehingga suaminya dapat bekerja dengan maksimal. Kini kemampuan melukis dalam sebulan bisa tiga lukisan ukuran dua meteran, namun Willem Kootstra lebih memilih ukuran kanvas yang sedang karena kondisi fisiknya. Padahal sebelumnya bisa sampai sepuluh karya dengan ukuran berpariasi dalam sebulan. Kesungguhan Samiyati menjaga ritme berkarya Willem Kootstra sekaligus menjaga kesungguhan menguji kreasi dalam karyanya.

Abstrak Willem Kootstra

Willem Kootstra yang dilahirkan di Bandung, 13 Agustus 1938 dari keturunan Belanda (Bapak) dan Bandung (Ibu) tinggal di Indonesia sampai pada umur 12 tahun, dan pada 1950 bersama keluarganya pindah ke Belanda melanjutkan sekolah dan bekerja di Belanda. Sambil bekerja ia belajar melukis kepada tokoh-tokoh pelukis Belanda, menonton pameran dan banyak mengunjungi museum seni rupa.

Ketertarikan kepada lukisan Abstrak terjadi semenjak ia mengenal karya-karya lukisan. Oleh karenanya, kendati karya-karya lukisan abstraknya dibuat di Indonesia, terutama Yogyakarta, tetap saja berbeda dengan karya-karya para pelukis abstrak Indonesia, baik secara konsep maupun bentuk karyanya. 

Bahkan dengan Arie Smith atau Ries Mulder yang sama-sama orang Belanda, secara konsep maupun bentuknya tetap berbeda.[ii] Seni lukis abstrak yang berkembang di Indonesia berpijak pada konsepsi spiritual adat-istiadat yang menekankan nilai-nilai moralitas-keTuhanan pada awal tahun 1960-an seperti Ahmad Sadali, Mochtar Apin, But Muhtar maupun Srihadi Soedarsono hingga generasi berikutnya pada tahun 1970 seperti Danarto, Lian Sahar, Nashar, Aming Prayitno, Nunung WS, Umi Dahlan, Sulebar M Soekarman sebagai tokoh abstrak yang diperhitungkan dalam periode akhir seni rupa modern Indonesia.

Perbedaan karya-karya lukisan abstrak Willem Kootstra dengan karya-karya seni abstrak Indonesia terletak pada kemurnian seni abstrak yang erat kaitannya dengan kota asal seni lukis abstrak, Munich Jerman, yang diproklamasikan oleh Wassily Kandinsky dengan kolompok Cobra sebagai ujung tombak perkembangannya. Seni abstrak murni kemudian berkembang di Belgia dan  Belanda hingga seluruh Eropa dengan Willem de Kooning, Arshile Gorcky dan Hans Hofman sebagai tokohnya. Perkembangan seni abstrak menyebar ke Amerika dengan puncak perkembangan abstrak ekspresionisme di masa Jackson Pollock dan Mark Rothko. Dari Amerika seni abstrak menyebar hingga Rusia, negara asal Kandinsky, dan terus berkembang ke seluruh Asia hingga Indonesia.

Di Asia, termasuk Indonesia, seni abstrak banyak mengalami perubahan karena unsur konsepsi kehidupan lingkungan masyarakat seniman Asia yang menekankan penjiwaan adat-istiadat setempat sehingga timbul suatu aliran baru dalam seni abtrak yang disebut abstraksi, yaitu suatu distorsi dari objek-objek lukisan dari lukisan realistik-figuratif sehingga lebih mendekati lukisan abstrak.

Karya-karya Willem Kootstra tidak mengenal konsepsi moralitas-keTuhanan maupun adat-istiadat dan semacamnya. Lukisan abstraknya adalah abstrak murni yang mengutarakan formalisme-universal. Ekspresi totalitas formalisme Barat dalam karya-karya Willem Kootstra terwujud melalui ekspresi spontan ketika ia mendapat kesan dari suatu peristiwa. 

Apabila ia melihat candi Prambanan dan melahirkan inspirasi di pikirannya, ia akan segera melukiskan candi itu menurut gagasan dan ekspresinya sendiri. Tidak ditemukan replika dalam luisan-lukisan Willem Kootstra, karena semua diekpresikan menurut keindahan dari dalam batinnya. Maka tak heran, dalam karya-karya Willem Kootstra, pasti ditemukan judul Composition, Abstract 1..., Impression dan seterusnya.

Pembacaan konsepsi lukisan ala Indonesia oleh penulis Indonesia tidak akan mampu mengejawantahkan karya-karya Willem Kootstra, karena memang karya-karyanya dibuat melalui ekpresi spontan berdasarkan rasa yang sedang bergolak di dalam jiwanya. Gembira, sedih, haru, rindu, cinta, benci dan kejengkelan adalah kekayaan yang terungkap melalui goresan dan sapuan warna dalam karya-karya lukisan abstraknya. 

Judul-judul karyanya tidak dimaksudkan sebagai bahasa metaforis maupun simbolis dari bentuk-bentuk alam, binatang dan manusia seperti umumnya dilukiskan para seniman Indonesia, tetapi lebih kepada penanda ketika suatu peristiwa terjadi di alam batin Willem Kootstra dan terekspresikan ke dalam karya-karyanya.*)

Jajang R Kawentar adalah Penulis di Forum Kritik Seni dan Artworker
 
 

[i] Wawancara dengan Willem Kootstra di rumahnya, Villa Bukit Asri, pada Sabtu, 7 Otober 2017.

[ii] Arie Smith mempelajari adat-istiadat daerah Priangan ketika ia tinggal di Bandung dan kemudian daerah Bali, sedangkan Ries Mulder adalah pengajar pertama di bidang seni lukis di Balai Pendidikan Seni Seni Guru Gambar ITB. Disarikan dari Agus Darmawan T, Arie Smith: Tentara Sang Penembak Cahaya, Jakarta: Gramedia, 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun