Mohon tunggu...
Angkasa Yudistira
Angkasa Yudistira Mohon Tunggu... -

Pengguna obat-obatan sesuai resep dokter sedari bayi, akibatnya rusaklah semua gigi. Jurnalis juga. Suami juga. Ayah juga.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Juang Bujang (2)

29 Mei 2010   09:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:53 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Setahun tiga bulan, setelah seorang laki-laki keluar dari rahim Rani, istriku. Tertatih berjalan, dengan mata menyipit tertarik senyum dalam tawa, kearahku. Nando, anak kedua ku, berikan tulus hasil usahanya belajar jalan, siap hadapi hari penuh rintangan. Hempaskan semua letih dalam ruang kontrakan tiga ruangan.

Bunga, laporan setelah pulang dari kegiatan berseragam, disodorkannya secarik kertas, dengan angka delapan dalam lingkaran menghiasai bagian atas sebelah kanan, hasil ulangan. “aku ingin jadi dokter nantinya Ayah!!” Ia pun berseru. Buat ku bergetar tanpa gentar, terus cari uang, jadikan semua mimpinya dalam kenyataan.

Ku bawanya pergi hampiri kios buah bapakku, kakeknya, sore hari. Tetap dibawanya kertas hasil ulangan, juga laporan untuk kakeknya, juga berseru dengan nada yang sama.

“ingin apa kau nanti nak??” Bapakku berikan pertanyan untuknya.

“ingin jadi dokter kakeeekk…aku kan tadi sudah bilang!!” sedikit merengut raut muka anakku, kecewa, seolah tak didengarkan kata-katanya.

“hahaha…maksud kakek, setelah kau jadi dokter, kau mau apa?”

“ingin sembuhkan orang sakit!!”

“bukan itu maksud ku,.. begini, kakek bukan dokter, tidak sekolah pula, namun kakek bisa punya uang, punya rumah, punya kebun, punya jeruk, naik haji pula jalankan perintah agama!! Nah, ingin apa kau nanti??”

“hah?!! ”

“hahahaha…. Iya, iya… jadi dokter kau nanti nak. Sembuhkanlah orang sakit. Amien!!... hahaha” menyerah sudah bapakku dibuatnya dengan satu kata, ‘hah?!!’, tak tau gunakan bahasa macam apa dia, agar bisa dipahami oleh cucunya.

Kau orang tua, pak, kau pernah muda, kau besar, kau pernah kecil. Pahami lah yang muda, yang kecil, dengan bahasanya, dengan gaya hidupnya.

Setelah tanya pada pelanggan yang sekolahkan anaknya tanpa seragam, kuliah namanya dia berkata, karena sudah tidak lagi kenakan seragam, butuh lebih biaya pengluaran. Bayar pendaftaran, bayar SKS, entah apa namanya bila di panjangkan. Banyaklah pernak-pernik yang mesti dibayar.

“sudah, mas.. ndak usah pusing, namanya juga anak kecil, maunya macam-macam, sebentar juga dia berubah lagi keinginannya.” Hiburnya, setelah lihatku menggaruk kepala, kerutkan dahi.

Tetap saja, biar masih kecil, Bunga anakku, tercipta sebagai manusia, sebagai pemimpin makhluk Tuhan lainnya di dunia. Masalah berubah nanti keingannya, tidak jadi masalah selama tidak di permasalahkan.*

Tetap, aku sebagai bapaknya, sekuat tenaga wujudkan keinginannya, sampai saat nanti, dibawa suaminya, berkeluarga, tanggung jawab penuh ada di pundak suaminya, imamnya.

* bersumber dari 100 aphorisma pidi baiq, no.40 : ‘masalah adalah apa yang kau anggap sebagai masalah’, www.multiply.pidibaiq.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun