Mohon tunggu...
Jairi Irawan
Jairi Irawan Mohon Tunggu... wiraswasta -

penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Penilaian Deskriptif: Merajut Pola Hubungan Guru dan Orangtua

21 September 2014   19:58 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:01 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ada satu hal yang menarik dalam Kurikulum 2013 yaitu pola penilaian rapor siswa yang tidak lagi menggunakan angka, melainkan melalui penilaian otentik dalam bentuk deskriptif. Pola penilaian semacam ini diyakini dapat menilai secara utuh seluruh kompetensi siswa (holistik) yang meliputi aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Penilaian otentik ditekankan pada apa yang dilakukan oleh peserta didik bukan hanya apa yang diketahui oleh peserta didik.

Dapat dipastikan raport yang diterima peserta didik menjadi lebih tebal dari raport kurikulum sebelumnya. Sebelum kurikulum ini dicanangkan raport siswa terdiri dari angka-angka sekarang terperinci dalam bentuk kalimat-kalimat yang menerangkan “prestasi” peserta didik.

Tahun pertama metode penilain deskriptif ini akhirnya memakan “korban” juga. Para guru yang sebelumnya terbiasa menggunakan angka sebagai acuan harus “berpusing-pusing” membuat kalimat-kalimat sebagai perwujudan angka-angka. Bisa jadi bentuk kepusingan ini, selain menilai aktivitas siswa, karena juga mereka dituntut untuk mengajar dengan cara kreatif.

Dalam satu kesempatan saya berbincang dengan guru sekolah dasar mengenai kurikulum 2013. Mereka membombardir saya dengan pernyataan dan pertanyaan yang cenderung berisi keluhan.

“Pak, kalau tiap hari (evaluasi siswa) seperti ini kapan saya mengurus keluarga. Kalau murid satu kelas saya 20 itu bisa padahal dalam satu kelas saya harus mengajar 40 siswa, lho. Belum lagi kami harus menyiapkan pembelajaran yang berbeda-beda!”

“lho bu, bukannya para guru sudah dilatih oleh para pendamping guru?” tanyaku sedikit selidik.

“sudah pak, baru sekali. Sedang pelatih saya tanyakan lebih lanjut juga kurang paham. Apalagi yang nilaai-nilai gitu”.

Saya menangkap ada kegemesan dalam keluhan-keluhan mereka. Mereka memiliki semangat perubahan yang luar biasa. Ada kemauan tapi belum ditunjang oleh pengalaman dan pengetahuan tentang perubahan yang sedang mereka jalani.

Biasanya diakhir kalimat mereka dengan sadar mengungkapkan bahwa keunggulan kurikulum yang sedang berlangsung ini. “sebenarnya pak, kurikulum ini membuat siswa antusias dalam belajar. Guru-guru menjadi lebih termotivasi dengan mencari bahan-bahan ajar yang mengasyikkan bagi siswa. Yang menjadi koreksi pribadi adalah seharusnya kami memiliki orang-orang yang siap kami tanya ketika kami kesulitan dalam penerapan kurikulum ini”.

Hubungan Guru dan Orang Tua Siswa

Sewaktu kita sekolah dulu, kita mendapatkan raport yang tebalnya kurang lebih 12 lembar itupun sudah termasuk petunjuk penggunaan, halaman data diri siswa, kolom penilaian, cadangan kolom penilaian jika tidak naik kelas, dan keterangan-keterangan di halaman belakang.

Kita masih ingat catatan-catatan yang ada di kolom samping nilai kita. Kita akan menemui kalimat “harap dipertahankan prestasinya” jika kita memiliki nilai rata-rata 8 atau sembilan. Sedangkan jika kita mendapat nilai rata-rata 6 kebawah pesannya akan berupa “mohon orang tua lebih memperhatikan belajar anaknya”.

Dua kalimat pesan di atas bisa disimpulkan bahwa minim sekali interaksi yang terbangun antara guru dan orang tua. Hubungan keduanya terjalin hanya dengan angka-angka yang diperoleh peserta didik dalam pembelajaran. Mereka akan bereaksi jika nilainya maksimal dan minimal. Kalau nilainya sedang mereka cenderung diam dan acuh.

Bukannya saya tidak setuju dengan penilaian berbentuk angka tetapi dalam hal pembelajaran ini ada yang tidak tersampaikan jika penilaian hanya dalam bentuk angka. Bagaimana dengan “nilai-nilai” diluar mata pelajaran dimana mereka menghabiskan 5-8 jam di sekolah?

Dengan adanya penilaian deskriptif setidaknya sebagai orang tua akan mengetahui perkembangan anaknya di sekolah bukan hanya “nilai jadi” ditiap ulangan harian maupun semester.

Kita tarik lebih jauh. Harapan besar dari penilain bentuk deskriptif ini salah satunya adalah “mendekatkan” hubungan guru, siswa, dan orang tua. Mau tidak mau, suka atau tidak suka orang tua haruslah membaca raport anaknya. Antara orang tua dan guru ada interaksi untuk saling mengisi hati dan jiwa anak. Saya sendiri sangat yakin bahwa interaksi yang baik antara guru, dan orang tua akan mampu menjaga keseimbangan anak dalam masa-masa pertumbuhan.

Jikapun pola hubungan guru-orang tua terjalin dengan baik belumlah menjadi prestasi purna keberhasilan kurikulum 2013. Masih banyak yang perlu diperbaiki dan dipersiapkan lebih lanjut agar kurikulum ini berterima di masyarakat. Dalam hal ini, Anita Lie, 2012, menuliskan bahwa keberhasilan suatu kurikulum merupakan proses panjang, mulai dari kristalisasi berbagai gagasan dan konsep ideal tentang pendidikan, perumusan desain kurikulum, persiapan pendidik dan tenaga kependidikan, serta sarana dan prasarana, tata kelola pelaksanaan kurikulum --termasuk pembelajaran-- dan penilaian pembelajaran dan kurikulum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun