Mohon tunggu...
Jaid Brennan
Jaid Brennan Mohon Tunggu... Penulis Freelance -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pelangi Pucat PasiI - Bagian (5) Air Mata Harapan

25 Desember 2016   09:56 Diperbarui: 25 Desember 2016   10:24 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bagian 5. 

Air Mata Harapan

Aku segerapulang dan mengabarkan apa yang kualami pada Ibuku, namun ibuku biasa saja. Takada luapan emosi kegembiraan darinya. Mungkin kegembiraannya telah hilang  ditelan oleh semua kepahitan hidupnya. Ataumungkin aku memang tak pernah diharapkan. Aku tidak mengerti, tapi tetapkuceritakan semua pada Ibuku termasuk tentang seseorang yang akan mengangkatkusebagai anak angkat. Ibu hanya diam dan aku tahu dia setuju dengan apa yang akulakukan. Dan setidaknya aku tak akan merasa kesal lagi kalau melihat ibubersama tamunya. Mungkin nanti setelah aku pergi, Ibu akan bisa sadari bahwaapa yang dilakukannya sesungguhnya salah. Aku berharap demikian, dan memang akuhanya bisa berharap. Aku akan selalu berdoa untuknya. Mudah-mudahan Tuhan masihmau memberikan jalan untuk Ibu. Satu kata yang diucapkannya padaku, entah itutulus atau tidak aku sendiri tidak tahu. 

“ Hati-hati dijalan,Syan .…” Entahlah aku merasa tidak pernah diharapkan Ibuku. Mungkinkepergianku memberikan kebebasan untuknya. Entahlah, aku takut, bahkan takutsekali. Takut akan terjadi apa-apa dengan Ibuku. Meski aku tahu Ibu sepertitidak menyayangiku, tapi aku mencintainya. Bagaimanapun ia adalah Ibuku. ‘Tuhanjaga Ibuku,’ bisikku dalam hati. Kubulatkan tekadku untuk tidak menengok lagike belakang. ‘Ini demi masa depanmu, Syan’, ucapan kepala sekolah itu merasukkedalam hatiku. Dan kulangkahkan kakiku dengan pasti. Kuseka air mataku yangentah kenapa mengalir. ‘Kau tidak boleh cengeng,  Syan’, ucap hatiku. ‘Teruslah melangkah.Orangtuamu takkan pernah peduli padamu’, bisik hatiku yang lain. Memang benar,sulit dipercaya, tapi aku merasa demikian. Bahkan saat aku pergi pun, takkulihat kesedihan dimata Ibuku. Apakah dia terlalu tegar atau memangperasaannya sudah hilang, aku tidak tahu. Oh Tuhan, betapa saat ini aku sangatmerindukan kelembutan hati. Kedamaian yang entah pada siapa akan kucari. Danaku sendiri sesungguhnya tak tahu apakah aku akan dapatkan ketenangan bathindengan menjadi anak angkat orang. Akankah di sana ada kedamaian, atau justrusebaliknya. Apa pun yang terjadi aku harus melangkah. Ya, aku harus langkahkankakiku. Banyak kemungkinan menanti di sana. Paling tidak aku tidak akanmembebani Ibuku lagi.

Dibutuhkan limajam dengan kendaraan umum  untuk sampaike rumah orang tua angkatku. Dan selepas maghrib, aku baru sampai di depansebuah pagar tinggi sebuah rumah besar. Kupencet bel. Dan seseorang membukakanpintu. Aku memberikan surat yang dikirimkannya padaku dan tak berapa lama akudiminta untuk masuk. Rumah itu mempunyai halaman yang luas dan taman yangsepertinya terawat dengan baik. Dan saat melewati garasi, ada dua buahmobil  yang masih tertutup dengan kain.Aku terus ke dalam dan orang itu mempertemukanku dengan seorang laki-laki.Laki-laki  itu terlihat tinggi dan kurus,matanya cekung, dan tatapannya aneh. Aku tak bisa membaca raut wajahnya.Kira–kira usia laki-laki itu sudah lima puluhan. 

“Nama kamu,Syan? “ katanya. 

“Iya , eeh...Pak.…”

“Jawab yangtegas,” katanya. 

“Kau harus lihatmata orang yang kau ajak bicara” , imbuhnya.

“Iya... Pak,”jawabku. 

“Kamu Syan?” ulangnya.

“Iya,” jawabkusingkat. Aku seperti merasakan sesuatu yang aneh dalam jiwa laki-laki itu.Seperti ada  sesuatu yang lain, entah ituapa. 

“ Antarkan diake kamarnya, baru besok pagi  aku akanbicara dengannya.” ucapnya pada pembantunya. Dan pembantu perempuan itupun  mengantarkanku ke atas, ke sebuahkamar yang cukup luas. Kamar ini sangat rapi. Sepertinya ada seseorang sebelumaku yang menempati kamar ini. Aku segera mandi sebelum kuhempaskan tubuhlelahku di ranjang tempat tidur baruku. Aku belum juga bisa memejamkan mataku.Hatiku campur aduk tak karuan. Betapa aku tak pernah menyangka kalau aku akanpindah ke kamar ini. 

Betapa aku tidak menduga kalau aku akan meninggalkanIbuku. Entah senang atau sedih aku tidak tahu. Yang pasti aku selalu dan selaluberharap keadaanku bisa lebih baik, paling tidak jiwaku tidak akan terganggudengan menyaksikan Ibuku dengan laki-laki. Tapi bagaimana dengan Ibu? Siapayang akan menyadarkannya? Apakah akan selamanya dia begitu? Dan Tuhan, dimanasesungguhnya ayahku. Kenapa kau berikan cobaan ini begitu berat? Tanpa terasaair mataku tumpah, jika mengingat ketidakjelasan hidupku. Kupasrahkan sajasemuanya pada Tuhan. Memang, mungkin

aku harus melewatinya. Tapi kenapa harus aku? Kenapa hidupku tak pernahsempurna? Ada Ibu yang lembut mengasihi. Dan seorang ayah yang bisa akubanggakan. Kenapa aku tidak memiliki apa yang mereka miliki? Benarkah Tuhan ituadil? Aku masih terisak oleh tangisku. Biarin aja aku menagis, toh tidak adaorang yang tahu. Kubenamkan wajahku pada bantal. Dan kupuaskan hatiku untukmenagis, menagis dan menangis. sampai aku benar-benar lelah dan diam. Kutataplangit-langit kamar. Meski tempat ini masih asing, tapi bagaimanapun jugatempat ini lebih baik dari pada kamarku. Di sini aku tidak akan mendengarsuara-suara aneh yang menggangguku. Syan, di sini kau aman. Lihatlah tembokyang kokoh itu, dan pintu yang besar itu. 

Mereka akan melindungimu. Di sini kautidak akan melihat Ibumu dengan laki-laki. Di sini  tidak akan ada anak-anak yang mengejekmubahwa kau anak haram. Tidak ada. Ini adalah kamarmu. Kau bebas di sini. Kaubebas dari semua yang mengganggumu. Coba kau buka lemari, kau bisa membaca bukusepuasnya. Dan coba kau buka kulkas, kau bisa makan buah sepuasnya. Dan kapanpun kau ingin mandi, kau bisa mandi. Kau aman di sini. Suara dalam dirikumenghiburku, dan aku mulai lelah dan tertidur lelap. 

Keesokannya,  pagi-pagi aku sudah bangun dan mandi bersih.Dan tak lama kemu-

dian ada ketukan di pintu kamarku.

“Dik, dipanggil bapak di bawah,” kata seorang laki-laki yang aku tidak tahu  siapa dia. Mungkin dia pembantu Pak Susastio,sopir atau siapa aku tidak tahu. Aku ikuti saja laki-laki itu turun ke bawah.Kami berhenti di meja makan sebelum laki-laki itu meninggalkanku. Dan PakSusastio, bapak angkatku, mempersilakakanku duduk. Aku yang mengira akandiinterogasi, ditanya macam-macam, ternyata keliru. Keluarga besar itumengajakku makan bersama. Di samping Pak Susastio, istrinya, tampak duduktenang. 

Tampak wajah perempuan lima puluh tahunan itu sudah lelah oleh masker,make –up, agar terlihat lebih muda. Tapi bagaimanapun juga, garis–garis disudut matanya tidak dapat menyembunyikan usianya. Di samping istri PakSusastio, Mba Larasati, menantu Pak Susastio, perempuan berambut pendek denganmake–up tipis ini tampak anggun. Dari wajahnya dapat kulihat kantungmatanya,  sepertinya sepanjang hidupnyadihabiskan untuk menagis. Namun perempuan ini terlihat lebih dewasa darimertuanya. Dari tindak–tanduknya, perempuan asli Solo ini lebih santun. 

Disamping Mbak Larasati, Mas Bima, suaminya. Mas Bima, laki-laki subur ini tampakterlihat tegar dan tenang. Dan di samping Mas Bima, ada aku, satu-satunya orangasing yang masuk ke dalam kehidupan keluarga mereka. Entah, kadang-kadang akutidak mengerti kenapa aku sekarang duduk di antara mereka. Selesai makan kucobauntuk ikut membantu membereskan meja. Tapi mereka melarangku. Aku tidak tahuapa yang harus aku lakukan. Aku hanya duduk diam menunggu apa yang akan merekalakukan padaku. (JB) - Bersambung 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun