Hiburan merupakan kegiatan yang memiliki tujuan untuk memberi kesenangan atau kebahagiaan bagi orang yang menontonnya. Hiburan sendiri termasuk ke dalam salah satu sektor industri kreatif subsektor kesenian dan hiburan (McKee et al., 2014). Sejak berkembangnya teknologi dan sosial media, penghasilan dari pasar industri hiburan dari tahun ke tahun meningkat cukup signifikan. Apabila dilihat dari tren yang ada, pendapatan industri media dan hiburan global terus meningkat sejak 2014-2018 dan diprediksi akan terus bertambah pada 2023 ini dalam skala global.
Berdasarkan data pada tahun 2021, Indonesia yang memiliki jumlah penduduk keempat terbanyak di dunia yakni 273,8 juta jiwa, memiliki potensi yang sangat besar terhadap pertumbuhan industri hiburan. Pada tahun 2021, valuasi industri hiburan di Indonesia mencapai 10,7 miliar dolar AS dan akan terus meningkat hingga 15 miliar dolar AS hingga tahun 2025 (Bisnis.com, 2022). Meningkatnya valuasi industri hiburan di Indonesia, tentu dipicu oleh berbagai hal. Salah satu penyebabnya ialah Covid-19. Pada saat terjadi wabah Covid-19, banyak terjadi pembatasan dimana-mana yang memaksa masyarakat untuk tetap berada di rumah saja. Pembatasan ini yang membuat ruang aktivitas masyarakat secara langsung menjadi terbatas dan beralih ke media digital. Kondisi pembatasan itulah juga yang membuat konsumsi hiburan musik dalam bentuk digital meningkat sebesar 18,5%.
Tak hanya musik saja, terdapat berbagai media yang digunakan masyarakat untuk dijadikan sebagai hiburan antara lain Instagram, TikTok, dan YouTube. Berdasarkan data yang diperoleh dari We Are Social (2020), menyampaikan bahwa YouTube berada di urutan teratas kata yang dicari melalui pencarian di Google. Oleh karena itu, tingginya pencarian oleh masyarakat membuat orang-orang ingin menjadi content creator di YouTube. Maka tak heran apabila di tahun 2023 ini banyak content creator yang membludak akibat kondisi pandemi 2020 lalu.
Di tengah pandemi Covid-19, terdapat UU Harmonisasi Perpajakan yang resmi menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2021, menjadikan reformasi perpajakan sebagai salah satu kebijakan untuk mencapai Indonesia Maju melalui sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel. Timbulnya harmonisasi perpajakan di tengah wabah Covid-19 sebenarnya didasari oleh beberapa hal seperti untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional akibat Covid-19 dan sebagai langkah kepastian hukum. Bahkan, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani, menyampaikan UU HPP hadir untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil, sederhana, efisien, memiliki kepastian hukum, bermanfaat, serta digunakan untuk kepentingan nasional. Mengingat sumber penerimaan terbesar berasal dari sektor pajak, maka harmonisasi penting untuk dilakukan.
PPN menjadi salah satu bidang perpajakan yang dimuat dalam UU HPP. PPN sendiri merupakan pungutan yang dibebankan atas transaksi jual beli barang dan jasa yang dilakukan oleh Wajib Pajak pribadi atau Wajib Pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak. Menurut Waluyo (2011) dan Sukardji (2015, dalam Wijaya dan Sunaryo, 2020) memaparkan bahwa karakteristik PPN terdiri atas pajak objektif, pajak tak langsung, multistage tax, terdapat faktur pajak, bersifat netral, tidak double taxation, dan merupakan pajak atas konsumsi. Dari salah satu karakteristik tersebut, PPN dibebankan kepada konsumen akhir atas konsumsi barang atau jasa yang merupakan objek kena pajak yang mana administrasinya dilakukan oleh pengusaha kena pajak.
Sebelum adanya UU HPP, PPN mengklasifikasi di dalam UU 42 tahun 2009 bahwa seluruh kegiatan jasa kesenian dan hiburan merupakan non jasa kena pajak. Hal tersebut diatur supaya tidak double taxation antara PPN jasa kesenian dan hiburan dengan pajak hiburan di Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Tetapi, di dalam aturan UU PDRD belum diatur bahwa hiburan seperti content creator Youtube dikenakan pajak hiburan. Oleh karenanya, UU HPP di dalam BAB IV pasal 4A ayat (3) huruf h memberi kejelasan bahwa bidang jasa kesenian dan hiburan, meliputi segala jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan yang menjadi objek pajak daerah dan retribusi daerah.
Dijelaskan lagi dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 70/PMK.03/2022 yang mengatakan bahwa penyerahan jasa digital berupa penayangan film atau audio visual lainnya melalui saluran internet atau jaringan elektronik merupakan jasa kesenian dan hiburan yang termasuk dalam JKP dan dikenakan PPN. Maka dari itu, dengan munculnya UU HPP dan Peraturan Menteri Keuangan membuat kepastian bahwasanya jasa hiburan digital dikenakan pajak hiburan dalam UU PDRD dan dikenakan PPN. Dengan PMK No. 70/PMK.03/2022 menjelaskan bahwa tontonan film atau tontonan audio visual lainnya harus memenuhi unsur dipertontonkan secara langsung di satu tempat, dan aturan yang sebelumnya telah dimuat dalam UU PDRD yang menerangkan adanya pungutan bayaran dari tontonan tersebut menjadikan tontonan audio visual melalui jaringan internet menjadi objek PPN. Maka, dapat disimpulkan bahwa melalui PMK tersebut, kesenian dan hiburan atas penayangan video oleh content creator pada YouTube menjadi objek jasa kena pajak. Selain karena penayangan video digital, tetapi juga terjadi transaksi atas penayangan iklan, konten eksklusif, dan jumlah penonton premium di dalam YouTube.
Berbeda hal nya antara pemutaran musik via media digital dengan konser musik secara langsung. Apabila terdapat konser musik secara langsung, maka dikenakan PDRD dan tidak dikenakan PPN. Hal ini terjadi supaya tidak double taxation. Hal ini diperjelas melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2015 tentang Kriteria Jasa Kesenian dan Hiburan yang Tidak Dikenai PPN. Di dalam PMK tersebut, terdapat pasal 2 Ayat (2) poin b yang menyebutkan tontonan pagelaran musik termasuk ke dalam salah satu jenis jasa yang tidak dikenakan PPN.
Content creator Indonesia pada YouTube melakukan kegiatan penyerahan JKP atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud (BKPTB), sehingga dikategorikan sebagai PKP. Apabila content creator tersebut melakukan penyerahan BKP atau JKP serta memiliki omzet di atas 4,8 miliar dalam satu tahun buku, maka perlu dikukuhkan sebagai PKP. Jika telah dikukuhkan sebagai PKP, maka para content creator ini perlu memungut PPN kepada Google Asia Pacific Pte.Ltd sesuai dengan ketentuan dan tata cara yang ada. Apabila pemungutan PPN dilakukan oleh content creator, maka ini dapat disebut sebagai mekanisme umum dalam pemungutan PPN. Adapun mekanisme lainnya berupa Reserve Charge Mechanism yang berarti pemungutan dilakukan oleh Google Asia Pacific Pte.Ltd selaku konsumen dengan menyetor dan melapor PPN yang ada.
Nantinya, jika telah menjadi PKP maka para content creator akan memonetisasi akun YouTube mereka serta mendapatkan pembayaran beserta PPN yang dipungut oleh content creator dari Google Asia Pacific Pte.Ltd atas konten yang dilakukan oleh mereka.
Perlu diperhatikan bahwasanya dalam pemungutan PPN ini harus memerhatikan origin principle dan destination principle. Origin principle berarti pemungutan PPN dengan melihat barang atau jasa tersebut diproduksi. Berdasarkan prinsip ini maka kegiatan ekspor barang atau jasa akan diberi tarif normal dan impor barang atau jasa dikenakan PPN 0%. Sedangkan, destination principle ialah pemungutan PPN dengan melihat barang atau jasa tersebut dikonsumsi. Berdasarkan prinsip ini maka kegiatan ekspor barang atau jasa akan diberi tarif PPN 0% dan impor barang atau jasa akan dikenakan PPN 11%.
Dengan harmonisasi UU HPP kini telah memberikan kejelasan pada peraturan perpajakan salah satunya mengenai kepastian hukum pada PPN berupa jasa kesenian dan hiburan. Tentu, dengan dikenakannya PPN pada konten digital akan membuat peningkatan pendapatan negara karena basis pemajakan yang luas, kepastian hukum yang jelas, serta memperjelas mengenai kewenangan antara pemajakan pemerintah pusat dan daerah.
Sumber Referensi:
Abdi Pratama Putra Darhani, S. W. (2022). Pajak Pertambahan Nilai Jasa Kesenian Dan Hiburan Atas Konten Digital Pasca Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Educoretax, 2, 120-140. doi:https://doi.org/10.54957/educoretax.v2i2.221
Bisnis.com. (2022). Valuasi Industri Hiburan Capai US$10,7 M, Mekominfo Johnny G. Plate. From https://ekonomi.bisnis.com/read/20220203/12/1496258/valuasiindustri-hiburan-capai-us107-m-mekominfo-johnny-g-plate-serukan-digitalisasi
McKee, A. C. (n.d.). Defining entertainment: an approach. Creative Industries Journal, 108-120.
Waluyo. (2011). Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H