Beberapa hari yang lalu, saya menyempatkan diri ke Ibu Kota Jakarta demi sebuah urusan keluarga. Berhubung ada rekan satu kampus dulu yang tinggal juga di Jakarta, jadilah kita merencanakan untuk bertemu setelah bertahun-tahun lulus dan mencar.
Selayaknya orang yang sudah lama tidak bertemu, kita menjadi begitu histeris ketika saling bertatapan satu sama lainnya. Tibalah kita pada duduk santai ngopi di McD serta mulai membahas hal-hal yang ringan sampai pada hal berat terkait alasan saya berpindah keyakinan ke Muslim.
Topik ini memang berat tapi selalu asik untuk dibahas.
Pertanyaan pertama yang dia lontarkan setelah diskusi ringan adalah,Â
"Koq bisa loe pindah? padahal loe itu khan (menurut gw ini ya) radikal banget tapi koq bisa ya?"
Saya  hanya bisa tersenyum simpul sambil berujar,Â
"Saya juga bingung koq bisa ya saya sampai pindah. Tapi yang pasti saya punya alasan even diawal perpindahan, saya merasa berat tapi saya plong setidaknya saya bisa mengikuti apa kata hati saya."
Percakapan kami semakin hari semakin mengerucut ke topik perpindahan saya ke Islam, sampai pada satu titik saya berujar,Â
"Saya ber-Islam bukan karena paksaan atau tekanan dari lingkungan, tapi saya tertekan dari dalam. Islam begitu "menekan" saya dari dalam."
Rekan saya semakin penasaran, apa sebenarnya yang Islam sudah perbuat sehingga saya begitu gelisah dan memilih untuk memeluknya sekarang?
Saya gelisah dengan suara adzan subuh. Suara itu selalu membangunkan saya. Saya gelisah karena dari dalam saya menghendaki saya untuk bergerak melakukan sesuatu tapi entah apa,.. saya berpikir mungkin saya harus berolahraga, saya olah raga!, Tapi suara itu masih terus memanggil saya untuk melakukan hal yang saya sendiri tidak tau. You know,.. suara itu menggema bukan hanya 1 kali, saya tersiksa. Sampai pada akhirnya suara itu diam ketika saya bersahadat. Ternyata suara itu menghendaki saya untuk bangun pagi-pagi dan mengerjakan sholat. Unbelievable, right? Jadi kalau loe bilang loe gk percaya, gw juga!"
"Tapi kenapa harus dengan sahadat? Kamu sudah cari cara lain selain sahadat?"
"Sudah! Saya putus asa. Saya  sudah mencoba satu demi satu keyakinan untuk menenangkan suara itu, saya berpindah-pindah keyakinan, bahkan saya sempat menjadi atheis, tapi sama saja. I got nothing in the end. Suara  itu tetap berkumandang. Saya harus bagaimana lagi? Bener-bener stress!Â
Singkat cerita, saya berkesimpulan kalau kalau Islam itu bukan agama tapi panggilan dari dalam. Diikuti saja. Karena setelah saya mengikutinya, suara itu merubah saya secara perlahan-lahan. Berat memang diawal tapi lama-kelamaan, perilaku Islam itu menjadi habit saya.Â
"Ehh terus mama papa gimana tanggapannya diawal-awal kamu pindah?" Rekan saya  melanjutkan pertanyaannya yang terdengar sedikit penasaran.
"Ya,... ditolaklah. Tau sendiri orang tua radikatnya tingat tinggi. Mereka butuh waktu untuk mencerna. Tapi lama-lama lunak juga sich."Â
Beberapa teman dekat masih belum bisa  menerima, gw sempat dibully, tapi bodoh amat dah. Intinya adalah, I feel better; jauh lebih baik sekarang. Orang mau bilang apa juga, ya monggo.."
Dilain sisi saya juga kaget mendengarnya berujar bahwa pasangannya adalah seorang Muslim, namaun 1 pertanyaannya adalah, "Tapi masku koq gak gitu-gitu amat ya,.?"
Saya menjawab, "karena dia belum menemukan Islam, Masmu ber-Islam hanya karena Islam diturunkan dari orang tuanya bukan dar proses mencari.
Akhir dari smeuanya kita hanya bisa memgang teguh pada apa yang kita percayai, bukan pada apa yang orang lain inginkan kita kerjakan.
Salam,..