Sudah terlalu banyak korban tidak bersalah hasil pemeriksaan P2TL PLN. Dalam sejumlah kasus, perusahaan dan petugas outsource P2TL dianggap telah memeras konsumen dengan denda puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Konsumen yang tidak bersalah menjadi pesakitan dan hampir tidak pernah ada yang berhasil memperjuangkan kebenaran dari proses P2TL PLN. Jangan sampai hal ini menjadi tradisi bahkan budaya dan membuat PLN sebagai satu-satunya penyedia layanan listrik bertindak semena-mena dan kurang menghargai Hak Asasi Manusia dalam mencari keadilan.
Singkatnya bisa kita bilang : Â Konsumen diberikan hukuman atas barang milik PLN Â yang berada dirumah kita yang bukan seharusnya tanggung jawab kita namun mengalami kerusakan ataupun kelainan. Terlepas tidak pernah dirawatnya barang tersebut sama sekali.
Ada beberapa hal yang menjadi latar belakang kenapa hal ini perlu diperjuangkan oleh konsumen:
1. Â Â Â Semenjak P2TL dibentuk, buat konsumen sendiri terlihat ada celah yang bisa dimanfaatkan oknum P2TL PLN sendiri untuk menggertak dan mencari keuntungan untuk pihak tertentu. Hasil temuan di lapangan sepertinya bersifat MUTLAK , TELAK dan TIDAK DAPAT DIGANGGU GUGAT. Terlepas hasil keputusan tersebut benar atau salah, terlepas siapa pelakunya.
2. Â Â Â Sudah banyak korban yaitu konsumen PLN yang tidak melakukan kesalahan namun tetap dibebankan TAGIHAN SUSULAN. Buat konsumen tidak ada jalan lain selain terpaksa menerima keputusan dan membayar denda tersebut. Opsi proses keberatan konsumen pun dijalankan PLN dengan "setengah hati" tanpa memperhatikan hal-hal lain selain hasil temuan di lapangan yang dilaporkan petugas P2TL.
3. Â Â Â P2TL PLN telah melakukan tindakan dan menjalankan hukuman diatas dasar ketidak tahuan dan ketidak mengertian konsumen terhadap listrik dan konsekuensinya. Bagi konsumen, belum ada informasi & sosialisasi yang efektif sampai ke masyarakat sebagai langkah preventif. Buat konsumen, PLN lebih condong selalu menekankan aksi korektif dibandingkan aksi preventif. Belum terlihat langkah aksi yang nyata untuk mengedukasi konsumen PLN agar tidak menjadi korban selanjutnya (misalnya pembeli rumah kedua yang tidak mengerti kalau diperlukan pemeriksaan instalasi listrik)
4. Â Â Â Dari pelaksanaan OPAL dan penertiban oleh P2TL sendiri masih terdapat sejumlah hal yang tidak sepenuhnya sesuai dengan SOP dan ketentuan SK Direksi 1486 th 2011. Dari pelaksanaan yang tidak proper, bagaimana bisa menghasilkan keputusan dan tindakan yang proper terhadap konsumen. Dalam kasus saya, tidak adanya saksi ahli / penyidik saat pemeriksaan OPAL, tidak adanya apa wakil rakyat seperti pihak RT/RW saat pengambilan barang bukti serta tidak diberiksannya ruang dan waktu pembelaan / keberatan yang cukup untuk konsumen. Sebaliknya konsumen didesak terus menerus untuk membayar denda atau listrik diputus.
5. Â Â Â Perangkat KWh meter yang ada di rumah konsumen pun seringkali tidak mendapatkan pengawasan dan perawatan dari pihak PLN maupun Badan Metrologi. Misalnya umur perangkat KWh meter dan piringan di dalam meteran tidak pernah ditera ulang sampai dengan jangka waktu yang diatur dalam Undang-undang yaitu 10 tahun.
6. Â Â Â Ada sejumlah hal yang konsisten antara aturan yang dikatakan oleh petugas PLN dan pelaksanaan di lapangan. Sebagai contoh adalah jika ada panggilan PLN123 maka selain mendapatkan no laporan dari PLN123, petugas yang dating juga seharusnya memberikan lembar merah bukti laporan perbaikan. Namun hal ini tidak terjadi di lapangan. Dimanakah letak permasalahannya, apakah petugas lapangan tidak mematuhi SOP atau SOP yang tidak tersosialisasi dengan baik?
Kalau kemalangan ini (tidak bersalah tapi tetap diberikan denda) menimpa terus menerus konsumen PLN, jelas namanya bukan mencerdaskan dan mensejahterakan konsumen, bisa-bisa malah menambah kesulitan hidup masyarakat. Belum lagi akibat yang ditimbulkan terhadap perekonomian Buat saya sebagai konsumen yang peduli konsumen yang lain, lebih baik buat iklan layanan masyarakat di Sosial Media, TV, di Media Massa, Poster, Brosur, dll daripada sekedar gerebek, tangkap dan hukum maling listrik.
Esensi dari pelaksanaan OPAL dan P2TL ini adalah mentertibkan penggunaan listrik, namun jika masih menggunakkan cara-cara lama seperti ini (Awasi, Tangkap & Hukum) , saya rasa esensi nya menjadi kabur dan gak efektif sama sekali. Yang penting buat saya, didik dan cegah agar konsumen tidak menjadi maling. BUKAN MENANGKAP DAN MEMBERIKAN DENDA (Denda Tagihan Susulan sama artinya dengan menyatakan KONSUMEN BERSALAH / APES MENANGGUNG KESALAHAN) KEPADA ORANG YANG TIDAK BERSALAH. Dimanakan fungsi kontrol dari pelaksanaan P2TL di lapangan? Siapa yang mengaudit kerja mereka?
Ayo terus berubah dan berbenah ke arah yang lebih baik PLN. Seperti slogan yang sering kau dengungkan yaitu LISTRIK PINTAR, jadikanlah juga konsumenmu sebagai KONSUMEN PINTAR! Â Coba koreksi apa yang kurang baik dan lakukan action pencegahan yang nyata serta buat seluruh konsumen mu semakin cerdas dan bangga punya PLN sebagai pengatur kelistrikan satu-satunya di negeri ini!
Buat rekan-rekan sebangsa dan setanah air, tentunya Anda adalah konsumen PLN bukan? Kalau kamu alami sendiri hal ini, bagaimana perasaanmu? Memperjuangkan kebenaran dan melawan perusahaan negara yang mendominasi listrik dan menyangkut hajat hidupmu? Apa dayamu dan bagaimana kamu bisa berjuang tanpa dukungan banyak pihak?
UNTUK SAAT INI, KITA SEMUA KORBAN P2TL YANG TIDAK BERSALAH TIDAK AKAN PERNAH TINGGAL DIAM. APAPUN HASIL DAN CERITA YANG KITA ALAMI, KITA AKAN TERUS BERSUARA DAN BERSAKSI. SAMPAI KAPANPUN, SELAMA KORBAN DARI PENYELEWENGAN INI TERUS BERMUNCULAN DI NEGERI INI..
AYO TANDA TANGANI PETISI UNTUK MENGHENTIKAN SEMUA KASUS INI : https://www.change.org/p/dirut-pln-stop-bom-waktu-denda-tagihan-susulan-p2tl-pln
Baca juga kisah lengkap & kisah nyata beberapa korban P2TL di Jagoaninternet.com - Makin Jago Makin Pintar lewat internet!
Jika ada yang pernah alami kekecewaan dengan P2TL atau PLN sendiri atau punya kisah yang hampir sama, silahkan sharing di web http://jagoaninternet.com/category/suara-pembaca/ atau email di pejuangkasuspln@gmail.com
"Ingat, banyak orang benar yang tidak berani bersuara karena takut atau malas. Itulah yang menyebabkan bangsa ini belum bisa maju secepat bangsa-bangsa lain... "Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H