Mohon tunggu...
Mbah Paito
Mbah Paito Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Jangan ada guling diantara kita.,.,.,.,.,

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Guru, Buruh dan Cita-cita Yang Terpendam

30 November 2015   09:48 Diperbarui: 4 Desember 2015   10:44 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pagi ini saya menikmati sarapan pagi dan dan segelas kopi sambil menonton berita pagi dari sebuah televisi. Beritanya tak jauh-jauh dari situasi politik,  dan berita demo buruh. Saat yang sama istri saya bergabung sambil membawa sepiring nasi beserta sayur dan lauknya. Dia sudah tampak rapi dengan baju keki warna coklat menutupi perutnya yang membesar  hasil keisengangan kami di malam pertama kedua dan seterusnya. Meski usia kehamilannya sudah berjalan 9 bulan tapi dia masih belum mengajukan cuti. “Besok aja setelah UAS” kata istriku yang selama seminggu ini sibuk bergadang menyusun soal UAS. Sebenarnya kasihan dengan dia ,dengan perut membesar dan kaki membengkak dia harus naik turun ke kelas. Belum lagi kalau muridnya lagi kumat bandelnya, saya Cuma bias nyuruh sabar amit amit jabang bayi.

Istri saya adalah guru pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah swasta pinggiran yang beru beberapa tahun berdiri, seminggu tiga kali dia mengajar di sini. Sedangkan tiap pagi dia mengajar di TK dan Paud di kampung. Dulu kami bertemu saat sama-sama kuliah di sebuah Universitas Negeri di Surabaya. Kebetulan kami satu angkatan, kebetulan lagi satu fakultas, kebetulan lagi satu jurusan, dan yang lebih kebetulan lagi kami satu kelas. Kalau kalian pernah bertemu dengan saya pasti nggak bakal nyangka kalau saya punya gelar Sarjana Pendidikan, soalnya nggak ada potongan jadi seorang guru blas. Dan memang nyatanya sekarang nggak jadi guru. hihi

Waktu kecil saya tak punya cita-cita yang spesifik,  selain ingin segera besar dan punya pacar, selebihnya hanya ikut-ikutan teman, yang jadi polisilah, tentaralah, dokterlah, pilotlah. Saat SMA pun saya masih tak tahu setelah lulus mau ngapain, jadi apa dan kemana. Bahkan cita-cita punya pacarpun tak tercapai sampai saya lulus SMA dengan predikat jomblo summa cumlaude.. Saat teman-teman mulai sibuk mendaftarkan diri ke berbagai universitas, keluar masuk ruang BK untuk berkonsultasi.

Saya hanya diam di kelas, selain keadaan ekonomi keluarga yang tak memungkinkan untukku melanjutkan pendidikan, saya juga nggak tahu kalaupun kuliah mau ambil jurusan apa. Sebuah contoh yang buruk, don’t try this at home. Sampai saat acara perpisahan sekolah, saya melihat Guru saya begitu bahagia melihat anak didiknya bias lulus 100%. Satu persatu kami bersalaman dengan bapak dan ibu guru, ada yang berpelukan, ada yang cipika cipiki, foto-foto dll. Saat itulah saya merasa “jadi guru enak ya”.

Setelah setahun menjadi buruh pabrik di Surabaya, saya memberanikan diri untuk ikut SNMPTN, tak dinyana tak diduga saya diterima di Universitas Negeri di Surabaya. Meski bukan jurusan favorit namun saya pilih karena peluang diterimanya lebih besar dan menyesuaikan dengan kemampuan otak yang sudah mulai lupa pelajaran sekolah. Saat mengundurkan diri dari pabrik, salah seorang karyawan HRD bertanya “kamu anak pendiam gitu kok mau jadi guru, gimana muridmu nanti”.

Saya jawab saja “Ya kan bias disuruh nyatet Mbak”. Saat kuliah saya bekerja sampingan bermacam-macam mulai dari bekerja di restoran, toko beras, jualan baju, tas, pulsa  bahkan bedak meski wajah item jerawatan. Namun tak pernah sekalipun saya mengajar les, entah kenapa tak pernah tertarik selain karena tak ada les pelajaran PKn, juga balik lagi ke kemampuan otak.

Dulu ada guyonan lawas bahwa gelas SPd itu merupakan kependekan dari Sarjana Penuh Derita. Hal ini tak lepas dari honor guru (terutama guru sukwan) yang jauh dari kata manusiawi. Sangat jauh jika dibandingkan dengan  bayaran buruh yang berencana mogok saat ini. Jangankan untuk mencicil motor ninja, untuk bayar kos-kosan aja masih ngos-ngosan. Gambaran enaknya jadi guru saat saya lulus SMA saya dapatkan dari guru PNS sebuah SMA favorit di sebuah kota kecil di jawa tengah dimana anak didiknya nggak bandel-bandel amat.

Saya belum tahu gambaran riil seorang guru mulai dari bawah dimana hitung-hitungan upahnya nggak pakai teori matematika yang dipelajari di sekolah. Anggap saja seorang guru honorer dibayar 20 ribu per jamnya. Jika seminggu dia mengajar 10 jam maka seharusnya dia menerima 200 ribu seminggu atau 800 ribu sebulan. Namun nyatanya yang diterima hanya 20000 alias hanya dihitung seminggu saja, sedangkan yang tiga minggu anggap aja kerja bakti.

Pertama kali melihat slip gaji istri, saya kaget setengah hidup. Saat kutanya seorang teman yang juga seorang guru, “kok mbayarnya Cuma segini, harusnya kan segitu” dia menjawab “wah kalau mbayarnya model gitu, bisa punya mobil aku”. Temanku ini mengajar di dua sekolah dengan upah sekitar 30ribu / jam, dengan total lebih dari 30 jam per minggu. Artinya anggap saja dia mengajar 30 jam seminggu, maka upah yang seharusnya dia terima adalah 30 x 30000 x 4 = 3,6 juta perbulan. Lebih dari UMR, namun sekali lagi matematika yang digunakan bukan matematika yang itu. Dan kalian bisa menebak berapa yang dia dapatkan.

Bagi sebagian guru honorer yang saya tahu, keinginan mereka tak melulu ingin diangkat menjadi PNS, melainkan upah yang lebih rasional dengan menggunakan hitung-hitungan matematika yang diajarkan sejak SD. Kalaupun kalaupun harus mendapat bayaran 200 ribu/bulan, tulislah di slip gaji 5 ribu/jam, bukan 20 ribu/ jam meski miris juga membacanya. Meski dengan bayaran yang nggak masuk akal itu, para guru honorer ini masih bisa bertahan. Ada yang nyambi member les privat, jualan online, buka counter pulsa, jadi tukang cukur, jadi atlet tarkam sampai jualan LKS, pokoknya yang penting survive. 

Bagi mereka uang sekecil apapun menjadi sangat berharga. Saya selalu mengingat moment ketika istri saya pulang dari sekolah dengan mata berbinar-binar karena mendapat uang dari menjaga ujian kelas, membuat soal, atau uang tugas keluar. Mereka menyadari sepenuhnya konsekuensi memulai karir sebagai guru honorer sambil berharap datangnya tunjangan dari pemerintah yang saat ini harus “mengabdi” selama 5 tahun dulu.

Konsekuensi ini juga yang membuat saya jadi memendam sejenak cita-cita yang sudah kurintis sejak kuliah. Status sebagai perantau dan kebutuhan ekonomi menjelang kelahiran buah hati membuatku beralih perhatian. Dengan bekal gelar SPd, diiringi lagu sarjana mundanya Iwan Fals melamar dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya. Hasilnya banyak ditolaknya hahaha.

Namun akhirnya ada satu perusahaan yang khilaf mau menerimaku dengan konsekuensi pergi pagi pulang petang penghasilan pas-pasan. Pas butuh duit, pas ada yang mau ngutangi. Itulah hidup, ingin jadi guru, kerja dulu jadi buruh, kuliah keguruan, kembali lagi jadi buruh. Mbulet. Namun suatu hari nanti saya masih berharap bisa mengajar, seandainya ada sekolah yang khilaf mau menerima. hehehe

Terakhir, ketika buruh dibayar rendah itu dianggap perbudakan, namun ketika guru dibayar rendah itu merupakan bagian dari pengabdian. Setidaknya ketika  mengajarkan materi nasionalisme “Jangan tanya apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyalah apa yang telah kau berikan kepada negara” bukan hanya jargon omong doank, tapi karena mereka telah melakukannya.

 

Selamat Hari Guru, dari seorang GURU (waGU tur saRU)

*Sorry telat, semoga nggak hamil*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun