"Paman, kampung ini terlihat sepi. Tidak ada lalu-lalang orang melaut atau melakukan kegiatan sehari-hari?" tanya Galih Sukma hati-hati kepada pemilik warung tempatnya beristirahat.
"Benar, Nak. Di sini sepi, orang ketakutan untuk keluar rumah," jawab pemilik warung hati-hati.
"Kamu bukan orang asli dari sini, ya?" gantian pemilik warung malah bertanya kepada Galih Sukma.
"Benar, Paman. Aku dari pulau seberang, di Utara Jauh sana, Paman," jawab Galih Sukma sambil menikmati singkong goreng dan teh manis yang dipesannya.
"Namaku Galih Sukma. Kalau boleh tahu, ketakutan karena apa ya, Paman?" tanya Galih Sukma wajar dan sopan. Tidak terlalu ingin tahu, sehingga tidak membuat curiga Ki Masto pemilik warung.
"Begini, Nak Galih...
"Tooooloooong Ki Masto, anakku Parjo diserang Siluman Ular," jerit minta tolong Bik Surti tetangga dari Ki Masto yang datang menghambur ke warung, memotong cerita Ki Masto dan Galih Sukma.
"Siluman Ular?" tanya Galih Sukma heran.
"Ya, Siluman Ular. Kebetulan sekali, inilah teror yang membuat kampung ini sepi, Nak Galih Sukma," tutur Ki Masto cepat.
"Toolloong, Ki... tolong anakku!" pinta Bik Surti panik dan ketakutan.
"Ada yang tidak beres di kampung ini. Aku harus menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi di sini?" batin Galih Sukma tidak tega melihat seorang ibu yang cemas mengenai keselamatan anaknya menjadi linglung dan seperti kehilangan akal.