Jika Allah menakdirkan aku berhasil. Kaya berkelebihan harta. Aku akan membangunkan sebuah mushola untuknya sebagai pengganti mushola reyot tempatku mengaji dulu.
Namanya Kang Saidin. Wajahnya bersih, bening, roman biasa saja seperti pria Sunda kebanyakan. Tutur bahasa halus dan ramah. Beliau juga murah senyum.
Seorang guru ngaji perantauan di kampungku. Kampung yang sangat " jahil " karena tak satu pun mushola, majlis taklim, apalagi masjid berdiri di kampungku.
Warganya diselimuti kegiatan yang jauh dari jalan agama. Molimo , subur terjadi di sana. Dari Mangan, Minum, Maling, Medok, dan Main.
Mangan atau makan barang yang haram, minum atau mabuk, maling atau mencuri, medok atau berzina dan main atau berjudi adalah pemandangan yang tidak asing sehari-hari di kampungku.
Begitu muramnya kehidupan di sana. Untuk mencari ilmu agama atau mengaji terpaksa harus jauh ke luar kampung.
Jika Allah menakdirkan aku berhasil. Kaya berkelebihan harta. Aku akan membangunkan sebuah Mushola untuknya sebagai pengganti mushola reyot tempatku mengaji dulu.
Kang Saidin adalah sebuah pelita yang berkelip lirih di antara kegelapan yang menyelimuti masa kecil dan remajaku.
Kerlip yang kecil namun sudah merupakan anugerah yang besar bagiku. Aku yang dicap sebagai anak sampah karena terlahir dari keluarga yang terpapar oleh kejahiliyahan kampungku.
Selalu dihina, digunjingkan dibalik punggungku. Direndahkan, dan dipandang ajaib, saat aku mulai ikut belajar di mushola kecil reyot milik Kang Saidin.
Meskipun aku masih kecil, namun perlakuan buruk itu sudah mampu aku pahami. Sebenarnya aku ingin menangis jika mengingat itu semua. Kesedihan adalah hari-hari panjang memayungi kehidupan masa kecilku.