SIAPA tidak kenal Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen? Ah, semua rasanya sudah tahu pasangan selebritas santun itu. Ale dan Nia, yang masih aktif dalam pengembangan seni peran, kini memutuskan berkiprah di politik. Ale dan Nia sudah bergabung dengan Kosgoro 1957, salah satu mesin utama dari Partai Golkar.
Ale dan Nia resmi diperkenalkan sebagai warga baru Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) 1957 oleh Dave Laksono, ketua umum yang masih muda dan sama-sama berjiwa milenial.
Dave, putra dari mantan Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono, mengaku bangga dengan pilihan pasangan selebritas terkenal itu bernaung dalam keluarga Kosgoro 1957 dan tentunya menjadi bagian dari keluarga besar Partai Golkar.
Ale dan Nia, yang juga aktivis pemerhati kondisi di Papua, siap untuk bersama-sama membangun Indonesia yang lebih sejahtera dan Papua yang semakin maju. Tekad mereka: turut membesarkan Golkar di Indonesia Timur, memenangkan Golkar pada Pemilu 2024, serta otomatis tentunya memenangkan Airlangga Hartarto di Pilpres 2024.
Pilihan Ale dan Nia masuk Kosgoro 1957 tentu sudah melalui pertimbangan yang matang, dan memang tidak keliru, mengingat inilah salah satu mesin utama dan penggerak dinamis Partai Golkar, bersama SOKSI dan MKGR. Tiga mesin utama partai beringin ini dikenal sebagai Tri Karya, yang dulu populer dengan sebutan Kino atau kelompok induk organisasi.
Kosgoro 1957 sebelumnya juga menjadi pilihan dari Gubernur Jabar Ridwan Kamil. Setelah mengantogi kartu anggota Kosgoro 1957 Kang Emil belakangan resmi mendapatkan KTA Golkar. Partai beringin akan mengusung kembali ke Pilgub Jabar 2024.
Bergabungnya Ale dan Nia dengan Kosgoro 1957 sehingga otomatis juga akan berseragam Partai Golkar tentunya tidak sekadar meramaikan fenomena selebritas masuk partai menjelang pemilu. Disadari atau tidak, setap orang memiliki naluri berpolitik.
Dalam persiapan menghadapi Pemilu 2024, Golkar melalui berbagai organisasi sayapnya seperti Kosgoro 1957 sudah lama melakukan perekrutan terhadap berbagai sumber daya manusia, termasuk dari kalangan selebritas. Mereka, kalangan selebritas, dinilai sebagai salah sumber terbaik untuk mendulang suara di pesta demokrasi ini.
Sebagai partai terbuka yang menghargai nilai kemanusiaan dan kemajemukan, dengan model kepemimpinan yang bersifat partisipatif-inklusif, Golkar terus membuka diri untuk menggaet kader-kader potensial. Juga dari kalangan selebritas.
Kendati demikian, Golkar tidak membeda-bedakan latar belakang caleg berdasarkan profesinya. Selebritas maupun masyarakat umum diperlakukan sama. Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto maupun jajaran pengurus terasnya tidak membeda-bedakan latar belakang caleg. Semua diperlakukan sama dan adil. Karena ukurannya dari kinerja.
Dengan demikian, bergabungnya kalangan selebritas seperti Ale dan Nia dijelang Pemilu 2024 ini tidak sekadar dijadikan sebagai pendongkrak elektabilitas partai, menghimpun suara dari masyarakat.
Perekrutan kalangan selebritas bukan untuk menghindari stigma kegagalan kaderisasi. Golkar melakukan beragam pelatihan untuk mendukung keunggulan setiap kadernya, sehingga tidak mengherankan jika dalam menghadapi Pemilu 2024 partai beringin menjadi yang pertama dalam menyerahkan daftar nama calegnya baik untuk tingkat I dan tingkat II.
Golkar serius menjalankan proses kaderisasi untuk membuat kader-kadernya tangguh, sehingga mampu mengangkat suara partai di daerah pemilihannya masing-masing. Tidak menjadi masalah bagi Golkar jika dianggap sebagai partai yang tidak terlalu mengedepankan kepentingan pragmatis, misalnya dengan mengutamakan perekrutan kalangan selebritas dan figur-figur yang tinggi popularitasnya untuk meningkatkan perolehan suara elektoral.
Memang harus diakui bahwa kalangan public figure atau selebritas, yang memiliki tingkat popularitas tinggi, menjadi salah satu hal yang penting untuk mendulang suara partai.
Modal popularitas yang dimiliki sosok-sosok terkenal di bidangnya, serta para pesohor, bisa menjadi pondasi untuk meningkatkan elektabilitas partai. Walau demikian, popularitas itu harus diolah dengan manajemen politik yang tepat.
Dengan manajemen marketing politik yang tepat, popularitas dari berbagai figur terkenal tersebut mudah dikonversi menjadi elektabilitas. Pasalnya, popularitas tak selalu berdampak atau berbanding lurus dengan elektabilitas. Kendati demikian, popularitas tetaplah menjadi modal penting....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H