Mohon tunggu...
Jafran Azzaki
Jafran Azzaki Mohon Tunggu... Lainnya - Senang Menulis

Seseorang dengan hobi menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Menyoal Sistem Pemilu dan Praktik Politik Uang

5 Januari 2023   12:47 Diperbarui: 5 Januari 2023   13:02 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita pahami, sistem proporsional terbuka sudah berulangkali diterapkan dalam pemilu di Indonesia, setidaknya pada pemilu 2009, 2014, dan 2019. Sejauh ini tidak ada kendala apa pun. Masyarakat menerimanya dengan baik. Partisipasi politik anggota masyarakat juga tinggi. Sebab, dengan sistem itu, siapa pun berpeluang untuk menang. Tidak hanya yang menempati nomor urut teratas.

Yang menarik, salah satu Hakim Konstitusi yang bertugas saat permusyarawaran gugatan uji materi sistem pemilu tahun 2008 itu, Arsyad Sanusi, juga berpendapat bahwa sistem penetapan anggota legislatif berdasarkan nomor urut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi.

Kata Arsyad Sanusi, itu adalah pelanggaran atas kedaulatan rakyat. Sebab, kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif.

Dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak. Mengutip pendapat Arsyad Sanusi, memberlakukan sistem nomor urut berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai pilihannya. Selain itu, sistem ini telah mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih.

Harapan besar kini bertumpu pada Mahkamah Konstitusi, yang lebih dikenal sebagai "the guardiance of the constitution". MK dinilai harus memakai pendekatan rasionalitas dan hati nurani. Untuk itu, suara dan keinginan rakyat haruslah didahulukan oleh MK.

Adapun mengenai dugaan bahwa sistem proporsional terbuka rawan terhadap politik uang, ada hal menarik yang diungkapkan oleh Mahfud MD. Ketua MK yang memimpin permusyarawatan untuk gugatan uji materi sistem pemilu pada 2008 yang kini menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) itu pesimistis pesta demokrasi seperti Pemilu 2024 terhindar dari praktik politik uang.

Dalam perbincangannya dengan media beberapa waktu lalu, Mahfud menyatakan, politik uang sulit dihindari karena pendapatan rakyat Indonesia masih rendah. Penjelasannya ini mengacu pada pernyataan mantan Wakil Presiden Boediono saat dikukuhkan sebagai guru besar Universitas Gajah Mada (UGM).

Intinya, jangan mengharapkan pemilu di Indonesia menjadi substantif sejauh pendapatan per kapita masyarakat belum mencapai 5.500 (dolar AS). Jual beli suara menjadi hal yang biasa.  

Merujuk pada data dari lembaga pemeringkat keuangan terkemuka CEIC (Central European International Cup), pendapatan per kapita Indonesia pada 2021 sebesar 4.349,17 dolar AS. Maka, mengacu pada pernyataan Boediono itu, Mahfud meyakini Pemilu 2024 bakal diwarnai politik uang, tapi praktik culas itu bakal terus berkurang seiring berjalannya waktu dan terus naiknya pendapatan per kapita Indonesia.

Di sisi lain, berdasarkan perhitungan McKinsey, sebuah biro konsultansi manajemen global, pendapatan per kapita Indonesia akan mencapai 23.900 dolar AS pada 2045. Dengan indikator itu, ada prediksi jik baru pada tahun 2035 pendapatan per kapita Indonesia sudah di kisaran 5.000 dolar AS.

Pada setiap pemilu godaan untuk menerima poltik uang cukup tinggi. Di samping masih rendahnya pendapatan per kapita Indonesia, rakyat juga menghadapi laju inflasi dan tekanan ekonomi....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun