MASIH ingat Tatang Jauhari alias di Bangor? Kisah si Bangor--yang dalam bahasa Sunda secara harfiah bisa diartikan nakal atau badung-menjadi viral setelah video kekecewaannya karena tidak terpilih menjadi ketua lembaga pemberdayaan masyarakat (LPM) Kelurahan Bedahan, Kecamatan Sawangan, Kota Depok, Jawa Barat, menjadi santapan empuk media.
Awal Desember 2022, hampir semua media cetak, elektronik dan televisi memberitakan kisah si Bangor. Kekecewaan sekaligus kemarahan si Bangor yang menagih pengurus RW untuk mengembalikan uangnya. Sambil memegang amplop ia menyebut akan mendatangi satu persatu pengurus RW yang belum mengembalikan amplop darinya. Si Bangor menegaskan tidak suka dipermainkan.
Menjelang pemilihan LPM Kelurahan Bedahan, Kecamatan Sawangan, Kota Depok, Jabar, itu, si Bangor memberi uang sebesar Rp1 juta dalam amplop kepada para voters (pemilik suara). Amplop sudah diterima oleh 22 dari 43 orang yang bisa memengaruhi hasil pemilihan, baik itu pengurus RW, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan perempuan.
Apa lacur, si Bangor hanya memperoleh 2 suara. Dia meminta amolopnya dikembalikan, khususnya oleh si penerima yang tidak memberikan suara untuknya. Hingga ke saat dia melampiaskan kemarahannya di media sosial itu, diketahui ada 4 orang yang belum mengembalikan amplopnya.
Si Bangor menegaskan, ia sebenarnya tak suka "money politics". Namun, ia terpaksa memberikan amplop kepada para pemilih mengikuti cara lawannya. Dia yakin, lawannya memenangkan pemilihan ketua LPM itu karena isi amplopnya lebih besar.
Jika pemilihan ketua LPM saja memerlukan amplop, bagaimana yang lainnya? Dari kasus perampokan terhadap Wali Kota Blitar, Santoso, pada pekan kedua Desember lalu, publik juga menaruh perhatian besar terhadap ongkos politik dari Santoso pada Pilwakot Blitar di 2020 lampau. Ini dikaitkan dengan pernyataan Santoso bahwa uang Rp400 juta yang digondol para perampok adalah tabungan yang akan digunakan untuk membayar utang biaya kampanye Pilwakot itu.
Setiap kegiatan politik pasti ada ongkosnya. Dari yang terkecil seperti pemilihan ketua lembaga pemberdayaan masyarakat (LPM) di tingkat kelurahan, hingga yang akbar seperti pemilihan umum. Ada potensi bahwa praktik politik uang selalu terjadi di setiap ajang pemilihan. Presiden Joko Widodo sudah pula angkat bicara soal itu, bahwa praktik uang selalu hadir dalam tiap penyelenggaraan pemilihan umum.
Praktik money politics atau politik uang sudah menjadi penyakit di setiap arena pemilihan. Apalagi pemilu. Dari pengalaman mengikuti dua kali pemilihan wali kota, dua kali pemilihan gubernur--karena dua putaran, dan dua kali pemilihan presiden, Jokowi merasakan langsung adanya praktik money politics itu. Â
Kita sepakati, praktik politik uang menjadi masalah dalam setiap pemilihan, apalagi pemilu, pesta demokrasi untuk menjaring hasil pilihan rakyat untuk para pemimpinnya. Money politics menjadi penyakit dalam setiap gelaran pemilu. Maka, perlu peran besar pengawas pemilu.
Praktik politik uang cenderung merusak sistem demokrasi yang berkualitas. Masyarakat terpengaruh dengan besaran uang yang diiming-imingi atau diberikan untuk menentukan pilihannya. Mereka datang ke tempat pemilihan bukan untuk memilih pemimpin yang berkualitas. Besaran uang yang menentukan siapa yang harus dipilih. Mengutip istilah Ace Hasan Syadzily, Ketua DPD Golkar Jabar, "Wani piro?"