SECARA harfiah King Maker bisa diartikan sebagai pembuat raja. Pengertian itu juga yang bisa disimpulkan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Istilah king maker saat ini banyak dipakai dalam perbincangan terkait pemilihan presiden (pilpres). Dari pilpres ke pilpres istilah tersebut senantiasa mengemuka.
Merujuk pendapat para pengamat, king maker dalam pilpres adalah orang atau kelompok yang memiliki kekuatan besar dalam upaya menentukan bulat lonjongnya sebuah hasil pemilihan presiden. Oleh karena itu, istilah king maker bisa ditujukan pada satu atau beberapa orang.
Seseorang bisa dikategorikan king maker karena ditopang sejumlah variabel, mengingat dalam kontestasi pilpres juga dibutuhkan berbagai variabel. Dukungan suara yang dimiliki, kemampuan finansial yang luar biasa,  kekuatan kekuasaan yang bisa dimobilisir, maupun kemampuan mengalihkan atau memberikan dukungan suara partai sebagai syarat administratif dalam pencalonan pada  kontestasi pilpres maupun keberadaan jaringan grass root dan elit dalam skala nasional maupun internasional.
Berkaca pada pelbagai variabel sebagaimana yang dikemukakan di atas, king maker bisa jadi seseorang yang sangat berpengaruh, seorang presiden misalnya. Juga ketua partai.
Beberapa waktu lalu kita kerap membaca tentang berbagai petunjuk atau isyarat yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo mengenai calon penggantinya melalui Pilpres 2024. Berbagai perilaku endorsement yang diberikan Jokowi kepada Airlangga Hartarto, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan belakangan kepada Puan Maharani, baik secara langsung dan tidak langsung, memperlihatakan sinyal keberpihakan Jokowi kepada mereka.
Dalam pemahaman publik, Jokowi memainkan peranannya sebagai king maker karena menyadari bahwa ia harus mendapatkan calon pengganti yang mampu menjadi penerus dari apa yang sudah dijalankannya selama hampir dua periode pemerintahan, dari 2014-2019 dan 2019 ke 2024.
Peringatan tidak langsung mengenai tidak adanya calon presiden yang tingkat elektabilitas atau keterpilihannya stabil di kisaran 30% pada setiap survei atau jajak pendapat masyarakat, sebagaimana tersurat pada akun Instagram Ketua Komisi VI DPR Faisol Riza beberapa waktu lalu, juga bisa menjadi bukti betapa ia tengah memainkan peranannya sebagai king maker.
Jokowi disebut-sebut akan mengambil langkah serius jika tidak ada calon presiden yang bisa mencapai tingkat keterpilihan stabil 30% dari masyarakat.
Dalam pandangan sejumlah pengamat politik, di samping Jokowi, tokoh-tokoh berpengaruh lain yang tengah menjalankan peranannya sebagai king maker adalah Surya Paloh, Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri dan Jusuf Kalla.
Surya Paloh, seperti biasa, menjadi yang terdepan dalam mengambil langkah-langkah strategis terkait dengan pilpres atau pemilihan gubernur. Menuju Pilpres 2024, dia juga menjadi yang pertama dalam membuat Anies Rasyid Baswedan menjadi yang paling ditokohkan. Surya Paloh melalui NasDem-nya menjadikan Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden (bacapres).
Anies tak hanya dijadikan bacapres dari NasDem, akan tetapi sekaligus capres dari Koalisi Perubahan yang diwacanakannya bersama Demokrat dan PKS. Seperti kerap disampaikan banyak pengamat, perilaku "curi start" dari NasDem inilah yang membuat pembentukan Koalisi Perubahan masih di awang-awang. Demokrat dan PKS tampaknya masih menghitung kesepakatan yang akan ditempuh. Kita pahami, Demokrat dan PKS pastinya punya kalkulasi politik masing-masing.
Susilo Bambang Yudhoyono mencoba menjalankan peranannya sebagai king maker dengan terus melobi Surya Paloh dan petinggi PKS agar menyepakati putranya, Agus Harimurti Yudhoyono yang kini memegang kendali Demokrat, sebagai pendamping Anies di Pilpres 2024.
Megawati Soekarnoputri, sebagai tokoh yang paling disegani di PDIP, memegang kartu truf terkait siapa yang akan diusung partainya sebagai capres di Pilpres 2024. Megawati memiliki hak prerogatif untuk menentukan siapa yang akan dimajukan, yang dalam hal ini disebut-sebut antara Ganjar Pranowo dan Puan Maharani. Sulit diasumsikan PDIP akan mengusung sosok lain dari internal partai di luar keduanya. Apalagi mempromosikan figur dari luar partai.
Dengan perolehan 22,38 persen kursi DPR, melampaui ambang batas 20% presidential thresold (PT), PDIP menjadi satu-satunya partai yang berhak mengusung capres dan cawapres tanpa berkoalisi dengan partai lain. Ini berbeda dengan partai-partai lainnya, khususnya delapan partai parlemen.
Jusuf Kalla, di sisi lain, juga tengah menjalankan peranannnya sebagai king maker melalui dukungan yang diberikannya kepada Anies Baswedan. JK terlihat mendampingi Anies dalam berbagai kesempatan.
JK juga disebut-sebut berperan untuk membuat Koalisi Perubahan segera terbentuk, sehingga mempermulus pencapresan Anies. Jika Koalisi Perubahan sudah resmi terbentuk, maka sudah tidak ada lagi yang menjadi penghalang bagi Anies. Poros NasDem, Demokrat dan PKS menghimpun 28,50 persen kursi DPR.
Jajaran ketua umum partai besar juga berpeluang menjadi king maker, sebut misalnya Airlangga Hartarto. Sebagai ketua umum dari partai pemenang kedua Pemilu 2019, Golkar, Airlangga Hartarto memegang peranan penting di Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang dibentuknya bersama PAN dan PPP.
KIB yang memiliki 25,87 persen kursi DPR sebenarnya sudah bisa mendeklarasikan capres dan cawapres dari internal. Namun, itu belum dilakukan oleh KIB. Airlangga Hartarto dan petinggi dua partai KIB lainnya tampaknya lebih memilih untuk memperkuat koalisi dengan menggandeng partai lain.
KIB tampaknya juga belum kompak untuk mengusung capres dan cawapres dari internal. Dalam perspektif demokratisasi partai politik, idealnya sebuah parpol memang wajib mengusung ketua umumnya sendiri.
Akan menjadi kegagalan partai politik dalam melakukan kaderisasi jika dalam kontestasi pemilu justru harus mengusung capres dari luar partai atau bahkan mengusung kader partai politik lain....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H