Pendahuluan
Dewasa ini rasanya kita sepakat bahwa demokrasi adalah bukan tentang pemilihan umum saja, tetapi bagaimana pada akhirnya sebuah pemerintah itu berjalan dengan berorientasi pada kepentingan masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Abraham Lincoln dalam pidatonya yang terkenal di Gettysburg (1863), yaitu:Â
"demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat."
Namun, tantangan demokrasi semakin kompleks, di mana menurut Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018), sistem demokrasi kerap mati secara perlahan melalui proses demokratis itu sendiri, seperti terpilihnya pemimpin otoriter, penyalahgunaan kekuasaan, dan penindasan terhadap oposisi, sehingga pembelajaran dari sejarah menjadi kunci untuk melindungi demokrasi dari upaya penyelewengan.
Dalam konteks Indonesia, demokrasi di Indonesia hari ini dapat dikatakan lebih baik jika dibandingkan saat rezim orde baru berkuasa. Namun, hal tersebut tidak serta merta menjadikan kualitas Indonesia lebih baik jika dibandingkan dengan banyak negara demokratis lainnya. Berikut adalah grafik indeks demokrasi Indonesia dari tahun ke tahun:
Berdasarkan data dari The Economist, indeks demokrasi Indonesia menunjukkan tren yang fluktuatif tanpa perubahan signifikan, mengindikasikan bahwa kualitas demokrasi Indonesia masih berada dalam kategori yang stabil. Meski begitu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.
Salah satu tantangan terberat dalam perjalanan demokrasi Indonesia hari ini adalah biaya politik yang sangat mahal atau akrab disebut high-cost democracy. Tingginya biaya dalam berdemokrasi di Indonesia berakibat pada kualitas dari demokrasi itu sendiri. Banyak sekali faktor yang melatarbelakangi kenapa biaya politik di Indonesia hari ini bisa sangat besar. Faktor tersebut tidak hanya bersumber dari kebutuhan teknis penyelenggaraan pemilu, tetapi juga dari kompleksitas politik elektoral yang memadukan kepentingan aktor-aktor politik dengan dinamika ekonomi patron-client, sebagaimana dijelaskan oleh James C. Scott dalam teorinya.
Scott, J. C. (1972) Â menjelaskan bahwa hubungan patron-klien dibangun atas dasar timbal balik yang saling menguntungkan. Patron memberikan perlindungan atau sumber daya ekonomi kepada klien, sementara klien memberikan loyalitas atau dukungan politik kepada patron. Di Indonesia, pola hubungan ini terlihat jelas dalam dinamika pemilu. Patron, yang dalam hal ini adalah elit politik atau pengusaha besar, menjadi penyandang dana utama bagi kandidat. Sebagai imbalannya, kandidat yang terpilih akan memberikan akses terhadap proyek pemerintah, kebijakan yang menguntungkan, atau posisi strategis dalam birokrasi.
Dalam konteks Pemilu 2024, tingginya biaya politik terlihat nyata dalam berbagai tahapan elektoral, mulai dari pendaftaran kandidat hingga kampanye politik. Kandidat yang mencalonkan diri harus mengeluarkan dana yang besar untuk memobilisasi dukungan, baik melalui penyediaan logistik kampanye, pemasangan iklan, hingga pemberian insentif langsung kepada para pemilih dalam bentuk money politics (Rahayu & Harbowo 2023). Hal ini semakin diperparah oleh sistem politik di Indonesia yang memberikan ruang bagi oligarki untuk memainkan peran dominan dalam pembiayaan politik. Para kandidat sering kali bergantung pada sokongan finansial dari para patron yang mengharapkan keuntungan ekonomi atau akses politik sebagai imbalannya (Hakim & Muhyidin, 2022). Kondisi ini menempatkan demokrasi Indonesia dalam situasi yang rapuh, karena orientasi politik lebih banyak diarahkan untuk melayani kepentingan para patron daripada rakyat secara umum.
Studi kasus pasca Pemilu 2024 menunjukkan bagaimana praktik high-cost democracy berdampak buruk pada kualitas demokrasi di Indonesia. Sebagai gambaran sebagaimana yang dimuat oleh Hayat, W. N. (2023) dalam surat kabar CNBC Indonesia, modal untuk pencalonan legislatif itu berkisar mulai dari ratusan juta rupiah hingga miliaran rupiah, tergantung tingkatannya. Semakin tinggi, tingkatannya maka akan semakin besar juga ongkos politik yang harus dikeluarkan. Sebagian besar dana tersebut digunakan untuk membiayai strategi kampanye berbasis patron-client, termasuk pemberian insentif ekonomi kepada kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Konsekuensi dari tingginya biaya ini tidak hanya membebani kandidat, tetapi juga menciptakan ketergantungan struktural antara mereka dan para patron. Kebijakan yang dihasilkan setelah pemilu lebih banyak mencerminkan kepentingan para patron, seperti pemberian proyek infrastruktur kepada perusahaan tertentu, daripada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas.