Kering kerontang mulai menerpa kerongkongan, seakan tak ada lagi ludah yang bisa ditelan. Kakek di pojok utara bagian depan musala tua itu mulai merasa lelah, 15 menit sudah ia mengulang-ulang bacaan shalawat nariyah. Namun, yang ditunggu tak kunjung datang, tepukan tangan pertanda perintah agar ikamah segera dikumandangkan. Bibirnya mulai menggersang, tangan kanannya mulai tak kuat menahan mic yang sedari tadi ia pegang.
        Di sisi lain masjid, tepatnya baris kedua dari depan, lurus dengan mihrab---tempat pengimaman. Kau duduk bersila di sana, dengan badan bergetar membahana. Keringat dingin mulai mengalir menyusuri pori-pori kulitmu, padahal kipas besar berputar kencang tepat di atas kepalamu. Berkali-kali kau bergaya membenarkan serban, sambil mencuri-curi mengusap keringat di badan, mungkin kau takut malu kalau ada seorang jamaah melihatmu begitu dari belakang.
        Tak lain kau adalah putra dari empunya musala tua, tujuh tahun sudah kau merantau ke luar desa, menyantri di salah satu pesantren terkenal di kota. Selama di sana, kau jarang sekali belajar. Bahkan bisa dibilang tak pernah belajar. Tak sedikitpun terlihat kau membuka kitab ataupun buku, hanya ketika berada di kelas dan itupun sebagai teman tidur di bangku. Saat ditanya kenapa begitu? "Wong abah saya kiai, meski saya tidak belajar, sudah pasti nanti saya akan menjadi kiai," jawabmu.
        Kau terlalu yakin kalau nasab mulia dapat membawamu menuju masa depan yang cerah tak ada batasnya, hingga lupa bahwa kesuksesan hanya milik orang-orang yang mau berusaha. Kau terlalu banyak mendengar cerita kiai-kiai bernasab mulia yang pintar tanpa belajar, hingga lupa akan kisah Kan'an putra Nabi Nuh yang tenggelam dalam lautan murka Tuhan.
        Kail dilempar, ikan pun tertangkap. Dua tahun sudah kau tak pindah kelas dan tak berganti kitab. Waktu menampar, kaupun sadar. Kau mulai senantiasa belajar, berusaha menjadi pintar. Namun, nasi sudah menjadi bubur, otak telah membeku, hati sudah menjadi batu, karena bahak tawa dan foya-foya yang hampir setiap detik kau lakukan dulu. Kau tak dapat mencerna ilmu yang disampaikan para guru, apa yang kau hafal tak pernah mau melekat di otakmu yang telah membeku.
        Hal itu terus berlanjut hingga dua tahun berlalu. Akhirnya, kau bertekad menuju kamar kepala asrama untuk meminta surat izin berhenti, tapi ia tak membiarkan semua itu terjadi. Olehnya, kau ditampar hingga sadar dengan beribu-ribu cerita. Salah satu yang paling kau ingat adalah cerita Ibnu Hajar. Selama kurang lebih 40 tahun ia belajar, tapi tak sedikitpun ilmu ia dapatkan. Akhirnya ia pergi dari tempatnya belajar, hingga sampai di sebuah gua yang penuh bebatuan. Di sana ia melihat batu keras dan besar, berhasil dilubangi air yang menetes terus-terusan. Ia tersadar, "Batu besar yang keras, dapat dilubangi oleh tetesan air yang tak begitu deras. Apalagi hanya otak beku dan hati batu, kalau terus menerus ditetesi semangat belajar keras dan keringat yang mengalir deras," pikirnya. Ia pun kembali ke tempat di mana ia belajar. Terus berusaha, sampai akhirnya menjadi ulama terkemuka dengan banyak gelar.
Setelah ditampar hingga sadar oleh ketua asrama, kau urungkan niatmu untuk berhenti. Kau melangkahkan kaki menuju asrama kembali. Kau menemukan semangat belajar baru, kau mengambil lantas membaca kitab-kitab dan buku-buku.
        Tahun berganti begitu saja, tiga tahun sudah kau belajar dengan semangat membara. Hingga akhirnya kau sadar, kalau kau bukan sosok Ibnu Hajar. Kau sudah dewasa dan bukan lagi anak-anak, semangat membaramu tak cukup untuk mencairkan otak beku ataupun menjadikan hati batu melunak. Semangat belajarmu mulai memadam dan tekadmu untuk berhenti kembali membulat. Kau pergi menuju kamar kepala asrama lagi, di sana kau ditampar dengan beribu cerita kembali. Namun, tekadmu sudah sangat kuat, beribu-ribu cerita tak cukup kuat untuk menggugat. Kau terus memohon dan memaksa tak henti-henti, hingga akhirnya kau mendapatkan surat izin berhenti.
        Bakda Ashar, sore tadi, kau pulang ke desa setelah sebelumnya sowan kepada kiai. Kau tiba di gerbang desa, saat langit disesaki semburat senja. Melihat itu, rekah senyum terlukis di wajahmu. Kau ajak tubuhmu melangkah menuju rumah. Dengan sedikit keringat, akhirnya kau sampai di depan pintu rumah. Kau mengucap salam dari depan pintu, umimu pun datang membuka dan menjawab salammu. Kau bertanya: "Di mana abah?"
"Di kamar." Jawab umimu tersedu-sedu.