Menikmati kuliner dengan cara yang luar biasa di Teluk Palu. Menyesap dinginnya angin laut. Lalu perempuan dari Kolakola menawarkan dange berlapis ikan teri, tuna dan gula aren untuk menikmati senja pulang.Â
Itu dulu. Sebelum tsunami dahsyat menyapa pantai ini dengan murka.Â
Masih terbayang wajah perempuan-perempuan berkerudung itu duduk berjejer rapi memakai dingklik di hadapan tungku yang sudah membara. Di atas tungku sudah siap kuali-kuali kecil dari tanah.Â
Seperti perapian, tiada lagi dingin sapuan angin laut terasa. Rona lembayung senja memberi warna alamiah pada wajahnya. Di belakang mereka debur ombak Teluk Palu meningkahi matahari yang beranjak pulang. Sungguh paduan harmoni alam yang serasi.Â
Perempuan-perempuan itu adalah para penjual dange Khas Kolakola. Dange adalah Sagu yang dicampur dengan kelapa parut lalu dipanggang di atas kuali gerabah tadi.Â
Bila ada pemesan barulah mereka menaruh campuran sagu itu di atas kuali gerabah tadi. Lalu kemudian dipanggang di atas tungku dengan bara kayu bakar. Harganya cuma Rp 5.000 per lempeng dange.Â
Dari sinilah kisah ini bermula. Berangkat dari Kolakola, Banawa, Kabupaten Donggala lalu merajut cerita di Teluk Palu.Â
"Saya dan kawan-kawan dari Kolakola biasa mulai buka jam empat atau jam lima sore. Kembali ke Kolakola bisa sampai jam dua belas malam. Tergantung pembeli dan bahan dange," tutur Minah, pada saya di senja itu. Ia adalah salah seorang perempuan penjual dange yang mengaku usianya sekira 37 tahun.Â
Dange yang dijajakannya berlapis ikan teri, tuna dan gula aren. Tapi menurut dia, orang lebih memilih dange ikan teri dan tuna tinimbang gula merah.Â
Saya mencatat kisah Minah itu dengan baik. Kata dia, saban hari mereka berangkat dari Kolakola sekira pukul 14.00 WIT. Tak kurang 1-2 jam lamanya dengan menumpang angkutan pedesaan mereka baru sampai di pedestrian Taman Ria, Teluk Palu. Mereka membayar sewa angkutan sekira Rp 40.000.Â
"Kalau menghitung pendapatan, bisalah ini untuk makan. Biasanya kalau ramai kami dapat tiga ratus ribu rupiah. Keluar untuk biaya angkutan dan bahan lima belas ribu itulah keuntungan kami," kata Munirah, penjaja dange lainnya.Â
Muliana, yang juga berasal dari Kolakola bilang saat itu, "daripada kami cuma duduk diam di rumah lebih baik kami mencari uang dengan menjual dange."Â
Bisa jadi ada seorang dua perempuan-perempuan penjual dange itu yang selamat dari amuk tsunami. Atau bisa jadi pula semua dari mereka selamat.Â
Sayangnya, saya belum sempat lagi menyambangi mereka. Bisa jadi juga, di lapaknya yang baru di Jalan I Gusti Ngurah Rai, Tatanga, Palu ada seorang dua di antara mereka yang saya temui di senja itu.Â
Bila sempat saya temui, saya akan kembali bercerita pada Anda semua tentang mereka. Meski debur ombak sudah berganti dengan raung mesin sepeda motor dan mobil yang melintas di depan lapak mereka kini.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H