Mohon tunggu...
Jafar G Bua
Jafar G Bua Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Photo Journalist CNN Indonesia, salah satu stasiun televisi yang menjadi bagian dari CT Corp dan CNN International. Saat ini bekerja dan berdomisili di Pulau Sulawesi, namun ingin berkelana ke seluruh pelosok Nusantara Jaya. Semua tulisan di microsite ini dapat dikutip sepanjang menyebutkan sumbernya, sebab ini semua adalah karya cipta.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menawarkan Falsafah Momi ri Bivi, Momi ri Ate

21 Februari 2016   12:02 Diperbarui: 21 Februari 2016   12:23 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belajar dari Hillary & Al Gore
(Menawarkan Falsafah Momi ri Bivi, Momi ri Ate)

Oleh: Jafar G Bua*

Di awal Februari ini, saya dikirimi sepotong cerita oleh Muzakir Tombolotutu, akademisi dari Fakultas Ekonomi, Universitas Tadulako, Palu. Ia menceritakan sikap sportif Hillary Clinton saat kalah bertarung dalam konvensi calon presiden dari Partai Demokrat. Ia juga bercerita soal Al Gore yang meski tidak setuju pada putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat yang memenangkan George W. Bush, namun ia tetap menyampaikan selamat atas kemenangan lawannya itu.

Menarik kisahnya. Awal kisahnya dimulai saat almanak menunjuk pada Sabtu, 7 Juni 2008 waktu setempat. Di National Building Museum, tak jauh dari The White House, kediaman resmi Presiden Amerika Serikat, sebuah acara penting berlangsung. Hillary Clinton, salah satu calon presiden dari Partai Demokrat menyampaikan pidatonya yang bersejarah di hadapan dua ribu pendukungnya. Hari itu, untuk pertama kalinya, Hillary mengakui kekalahannya dari pesaing utamanya, Barack Obama sebagai nominee calon presiden Amerika dari Partai Demokrat.

Dalam pidatonya, Hillary mengatakan, “Saya mendukung Obama dan memberikan dukungan penuh kepadanya. Hari ini, saya mengucapkan selamat kepadanya atas kemenangannya dan pertarungan luar biasa yang dijalaninya.”

Senator Hillary tak hanya mengakui kekalahannya, tetapi juga mendukung penuh kandidat presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Obama. Istri mantan Presiden Bill Clinton itu menyatakan akan habis-habisan melakukan apa pun agar Obama terpilih menjadi presiden. Tentu sikap yang ditunjukkan Hillary patut diacungi jempol. Perempuan yang kemudian menjadi Menteri Luar Negeri AS itu bukan hanya bersikap sportif, dengan mengakui kekalahannya, tetapi juga berpikir ke depan untuk bersama-sama dengan Obama, memenangkan pemilu dari partai yang sama.

Sikap yang ditunjukkan Hillary, sama dengan ketika Al Gore kalah dalam pemilihan presiden melawan penantangnya George W. Bush pada 13 Desember 2000. Gore kalah bukan karena telah selesainya hasil perhitungan suara dilakukan. Namun setelah Supreme Court, Mahkamah Agung-nya negara adidaya itu, akhirnya memutuskan sengketa perhitungan suara yang terjadi dgn menolak gugatan Al gore. Ketika ia tahu bahwa gugatannya ditolak, dalam pidatonya, Gore mengatakan bahwa ia baru saja menelepon Bush untuk menyampaikan bahwa ia menerima kekalahannya dan mengucapkan selamat atas terpilihnya pesaingnya itu sebagai Presiden Amerika ke-43.

Di bagian lain pidatonya yang cukup puitis, Gore menyatakan bahwa ia sebenarnya tidak setuju dengan keputusan MA sehari sebelumnya, yang memenangkan Bush sebagai Presiden, namun dia sangat menghargai keputusan itu dan menerimanya sebagai sikap sportifitas dan mengakui kekalahan. Bahkan Gore mengajak segenap warga Amerika agar bersatu dan bersama-sama berdiri di belakang presiden Amerika terpilih. Sungguh, suatu ajakan yang sangat simpatik melihat betapa kisruh dan tegangnya selama hari-hari terakhir dalam proses perhitungan suara pemilihan presiden sebelumnya.

Untuk diketahui, pada pemilihan Presiden AS itu, Bush dinyatakan memenangi Pilpres AS mengalahkan Albert Arnold Gore alias Al Gore. Meski semua orang tahu, Al Gore mendapatkan perolehan suara lebih banyak dari Bush. Selisihnya sekitar 500 ribu suara. Itulah yang dibawa oleh kubu Al Gore untuk menggugat ke Supreme Court.

Tapi AS adalah negara yang menganut sistem electoral college dalam menentukan calon presidennya, meski pemilihannya langsung. Jadi yang menentukan pemenang adalah para elektoral.

Elektoral adalah wakil negara bagian: dua untuk senat, beberapa untuk DPR; mereka yang memilih presiden dengan sistem winner takes all. Suara elektoral terbanyak dimenangkan oleh Bush dengan selisih angka cukup tipis di negara bagian Florida.

Pelajaran apa yang bisa ditarik dari kedua tokoh tersebut; sikap kesatria, karakter negarawan yg paripurna, lapang dada mengakui kekalahan dan semangat sportifitas dalam pertarungan. Kita mesti mahfum dalam sebuah pertandingan pasti ada yang menang dan ada yg kalah. Bahkan dalam posisi seri sekalipun dalam sepakbola akan diselesaikan dengan menit perpanjangan, lalu adu pinalti. Tiada pertarungan yang tak selesai.

Dalam pemilihan kepala daerah Sulawesi Tengah, soal belum dilantiknya Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih Longki Djanggola dan Sudarto, bila paham, tentu bukan karena urusan gugatan yang tak kunjung usai. Meski isu yang menjadi viral di media sosial utamanya Facebook terkait soal itu. Seperti juga Bupati dan Wakil Bupati Banggai, masa jabatan Longki dan Sudarto baru akan berakhir pada Juni 2016 mendatang. Tapi sudahlah, saya tidak sedang membahas itu.

Saya hanya ingin menyampaikan catatan saya, soal karakter dan perilaku elit politik yang haus kekuasaan. Mental yang jauh dari jiwa sportifitas yg dimiliki para negarawan. Saya melihatnya sebagai sesuatu yang menggelikan. Ini mungkin satu-satunya kasus pilkada di Indonesia yang unik, karena tiada satupun keputusan dari lembaga yang diakui negara; KPU dan Mahkamah Konstitusi dipercayai oleh pesaing Longki dan Sudarto.

Sebenarnya, pada 9 Desember 2015 lalu, semua orang sudah menunggu pasangan Rusdi Mastura dan Ihwan Datu Adam segera menyampaikan ucapan selamat setelah hitung cepat Indo Barometer, lembaga sigi terpercaya di Republik ini, memenangkan Longki-Sudarto dengan selisih suara hampir 10 persen. Namun ucapan itu tak kunjung datang. Lalu, pleno Komisi Pemilihan Umum pun diteken. Hasilnya; Longki-Sudarto menang dengan selisih tak jauh beda dari hitung cepat Indo Barometer. Lagi-lagi ucapan selamat tak kunjung datang. Berujunglah prosesnya pada gugatan di Mahkamah Konstitusi. Dan hasilnya; permohonan Rusdi-Ihwan ditolak! Artinya semua proses yang dimungkinkan oleh undang-undang sudah terlampaui. Apa yang terjadi setelahnya? Lagi-lagi pasangan Rusdi-Mastura tak kunjung memberi ucapan selamat kepada Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih Longki Djanggola dan Sudarto.

Pasangan Rusdi-Ihwan tidak legowo, tidak lapang dada. Begitu bahasa Andi Alimuddin Rauf, akademisi senior Universitas Tadulako. Ia meminjam ungkapan Bahasa Jawa itu untuk menyederhanakan falsafah Kaili, suku asli yang tesebar di Palu, Parigi Moutong, Donggala dan Sigi; momi ri bivi, momi ri ate--manis di bibir, manis pula di hati. Mengutip pernyataan Rusdi Mastura yang selalu menyampaikan ke khalayak ramai dalam pelbagai kesempatan bahwa ia selalu legowo, siap menang dan siap pula kalah, banyak orang menanti itu dilisankan lalu menjadi kesepakatan dan kemahfuman bagi yang lain. Kita tidak ingin seperti ujar-ujar; momi ri bivi, pai ri ate--manis di bibir, tapi pahit di hati. Ucapan yang tidak sejalan dengan isi hati bahkan tindakan. Pertandingan sudah berakhir. Saatnya kini kita membangun daerah ini bergandengantangan. Melupakan selisih paham dan silang sengketa.***

*Jurnalis Televisi. Bekerja di CNN Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun