Oleh: Longki Djanggola*
HAMPIR sepekan lalu saya menjelajahi sejumlah daerah-daerah terluar wilayah kita. Untuk mempermudah perjalanan saya menuju daerah-daerah semisal Menui Kepulauan, Kaleroang atau Salabangka, saya harus terbang ke Makassar dulu baru ke Kendari. Setelah itu lalu melanjutkan perjalanan dengan perahu cepat menuju daerah-daerah terluar kita itu. Hanya butuh waktu tidak lebih dari 5 jam perjalanan. Coba bayangkan jika kita menempuh jalan darat dari Palu menuju Poso lalu ke Bungku dan meneruskan dengan jalan laut menuju Menui. Itu tidak kurang dari 20 jam.
Masalah transportasi itulah yang menjadikan daerah ini hampir-hampir merasa dianaktirikan oleh daerah Provinsi atau bahkan oleh Kabupaten Induk masing-masing. Akhirnya mereka pun lebih memilih berniaga ke Kendari, Sulawesi Tenggara. Daerah tetangga itulah yang merasakan manfaat sosial ekonominya.
Saya ingin menceritakan soal Kaleroang, yang masuk Kecamatan Bungku Selatan, Morowali. Ini adalah wilayah kepulauan. Penduduknya tidak kurang dari 14 ribu jiwa. Sedang total penduduk Bungku Selatan itu lebih dari 17 ribu jiwa. Sebanyak 3 ribu jiwa menetap di daratan. Akses transportasi utamanya adalah perahu cepat atau perahu tradisional. Daerah ini berdekatan dengan Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan penting perjalanan saya ke wilayah itu. Yang utama soal transportasi, komunikasi dan penyediaan air bersih serta sarana kesehatan. Juga soal pelayanan administrasi kependudukan dan penerangan listrik.
Belum lagi ancaman abrasi. Akibat pemanasan global mengakibatkan muka air laut meninggi sehingga saat ini, jika mereka membangun rumah di tepi pantai harus lebih tinggi lagi. Saya sampai berpikir apakah mereka dibuatkan konstruksi baru untuk rumah mereka atau dipindahkan ke wilayah lain yang lebih layak. Kepada saya, sejumlah tokoh masyarakat meminta untuk diadakan tanggul penahan abrasi.
Yang menarik soal ketersediaan air bersih. Di sana ada satu sumur yang dipenuhi kira-kira 25 mesin pengisap air. Itu satu-satunya sumber air di sana yang kadang nyaris mengering. Sehingga masyarakat harus menunggu lama supaya air di bak-bak air rumah mereka penuh.
Saya mencatat semua hal itu sambil menimbang kerja apa yang akan kita usahakan kelak untuk mengatasinya. Misalnya untuk soal transportasi, kita bisa membuka lebih banyak pelabuhan rakyat yang permanen, juga mendorong pengusaha-pengusaha lokal menyediakan alat transportasi yang memadai untuk mereka sehingga akses sosial ekonomi mereka makin lancar. Soal air bersih bisa dimulai dari survey mencari sumber air lain agar kebutuhan air bersih lain. Lalu soal penerangan listrik bisa diatasi dulu dengan penambahan mesin pembangkit listrik, lalu daerah-daerah yang belum terbangun pembangkit milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) bisa kita upayakan dengan pembangkit listrik Tenaga surya.
Saya merekam harapan-harapan membara di wajah-wajah tetua dan para pemuda di Kaleroang ketika bertemu mereka sepekan lalu. Harapan membara untuk membangun daerah mereka. Harapan untuk lebih maju, lebih sejahtera, lebih mandiri.
Ada banyak yang bisa kita buat selama masyarakat luas mendukung kita. Ada banyak cita-cita membangun daerah ini kita bisa wujudkan dengan berjalan seiring, bukan hanya mencibir atau menjelekkan pihak lain. Semoga.***
* Bupati Parigi Moutong, Sulawesi Tengah dan Calon Gubernur Sulteng Periode 2011-2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H