Mohon tunggu...
Jafar G Bua
Jafar G Bua Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Photo Journalist CNN Indonesia, salah satu stasiun televisi yang menjadi bagian dari CT Corp dan CNN International. Saat ini bekerja dan berdomisili di Pulau Sulawesi, namun ingin berkelana ke seluruh pelosok Nusantara Jaya. Semua tulisan di microsite ini dapat dikutip sepanjang menyebutkan sumbernya, sebab ini semua adalah karya cipta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Project Sophia: Memutus Benang Konflik dengan Buku

25 Oktober 2014   04:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:49 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasca konflik, Lian Gogali, seorang pegiat sosial di Poso, Sulawesi Tengah dibantu sejumlah relawan menggagas Project Sophia, proyek sosial yang kemudian melahirkan Sophia Library, perpustakaan mini dengan ribuan koleksi buku bagi anak-anak korban konflik. Gagasannya untuk mempertemukan anak-anak berbeda suku dan agama melalui buku itu berhasil. Sebuah kenyataan yang saat konflik terjadi bahkan tak mampu mereka mimpikan. Kini buah manis kerja kerasnya sudah bisa dinikmati. Saya beruntung bisa mengamati langsung tahap demi tahap kerja besar yang dilakukan oleh perempuan gigih itu. Bahkan sempat membuat film dokumenter sebagian kecil kerja Lian dan relawannya. Berikut nukilan kisahnya.

[caption id="attachment_349658" align="alignnone" width="700" caption="SOPHIA LIBRARY. Dari lima buku yang dibaca bergantian 100 anak, kini koleksi Sophia Library sudah lebih dari 2000 buku dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. (Foto: Jafar G Bua)"][/caption]

AMUK sosial yang mengharubiru Poso, Sulawesi Tengah sudah mereda. Tidak ada lagi pergerakan massa yang saling serang. Salakan senjata, juga dentumanbom nyaris tak terdengar lagi. Yang tertinggal adalah urusan penegakan hukum. Aparat keamanan memburu mereka yang dianggap bagian dari kelompok sipil bersenjata yang meneror warga.

Memang kerap terjadi huru hara antarmereka yang berkuasa atas senjata api itu. Bentrok antar kelompok bersenjata dengan aparat keamanan masih terjadi hingga paruh ketiga 2014. Namun sejauh ini, warga tak lagi dicekam teror. Pasar sudah ramai. Lalu lintas antardaerah sudah lancar. Roda ekonomi sudah berderak berirama.

Amuk paling parah terjadi selama kurun waktu 1998-2000. Puluhan ribu orang meregang nyawa. Puluhan ribu rumah rata dengan tanah. Ratusan ribu pengungsi mesti mencari selamat ke daerah-daerah aman di sekitarnya bahkan ke luar daerah.Tak terhitung berapa banyak harta benda dan hewan ternak yang musnah karenanya.Sampai kemudian tokoh-tokoh agama dan masyarakat dari Poso, Sulawesi Tengah bertemu di Malino, Sulawesi Selatan pada 20 Desember 2001 meneken janji damai.

Tentu saja, janji damai itu membuat banyak orang sumringah. Tapi trauma, juga prasangka-prasangka masih menjadi hantu. Jabat tangan boleh jadi sudah erat, tapi kekuatiran di hati masih ada. Yang paling merasakan trauma, juga hantu prasangka itu tentulah perempuan dan anak-anak mereka. Banyak perempuan terjebak di tengah konflik. Banyak pula anak tumbuh dewasa dalam deru konflik. Maka jadilah mereka anak-anak konflik yang diliput trauma dan prasangka.

Adalah Lian Gogali, pegiat perempuan kelahiran Taliwan, Morowali 24 April 1978, yang gelisah melihat keadaan itu. Ia memang sudah bekerja buat para perempuan-perempuan korbankonflik. Mendirikan sekolah bagi mereka. Mengajarkan mereka hak dan kewajiban mereka sebagai perempuan dan warga Negara. Juga mengajarkan mereka bagaimana bertani organik dengan meminta bantuan sejumlah pegiat pertanian organik setempat. Namun ia masih gelisah. Sebabnya karena generasi yang menjadi anak kandung konflik itu.

Kerja awal sudah dimulainya sekembali dari Yogyakarta pada 2007 ia menetap di Pamona, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Ia adalah luaran Universitas Sanata Dharma. Tesisnya, yang bertajuk Politik Ingatan Perempuan dan Anak dalam Konflik Poso, menjadi bebannya.

“Tesis itu menuntut tanggung jawab sosial dan moral saya. Saya mesti berbuat sesuatu bagi perempuan dan anak-anak yang menjadi korban konflik ini,” kata Lian pada saya suatu ketika.

Maka lahirlah Sekolah Perempuan untuk para korban konflik itu. Mereka bekerja di bawah sebuah lembaga yang mereka namai Institut Mosintuwu. Mosintuwu dalam Bahasa Pamona, bahasa ibu orang Poso berarti bersatupadu. Namun, jangan dibayangkan semuanya serba formal. Mereka belajar berpindah-pindah dari desa ke desa yang sebelumnya dilanda konflik. Tapi ada modul yang jadi panduan belajarnya. Setelah itu dinilai berhasil. Pekerjaan besar lainnya sudah menanti. Maka digagaslah Project Sophia pada 2009. Ini proyek khusus buat anak-anak korban konflik. Mereka membangun perpustakaan mini yang menyusuri desa ke desa. Mereka bertemu dengan anak-anak yang punya kegemaran membaca. Ada kalanya dengan menumpang mobil, ada kalanya dengan menumpang perahu motor menyusuri Danau Poso menuju sekitar 20-an desa di pesisir danau itu. Mereka namai itu sebagai Sophia Library.

Soal nama yang dipilih, Lian punya kisah sendiri. “Sophia itu maknanya adalah kebijaksanaan. Saya punya harapan besar agar anak-anak itu melalui buku-buku bermutu yang mereka baca akan menjadi bijaksana memandang hidup mereka. Memandang hidup yang penuh dengan kedamaian,” tutur Lian.

Kata Lian, kini ia bisa tersenyum bangga, hasil kerja keras banyak orang yang selama ini membantunya dari latar belakang suku dan agama yang berbeda sudah membuahkan hasil.

“Anak-anak berbeda agama dan suku yang dulunya trauma dan penuh prasangka karena berada di tengah konflik, sekarang bisa berkawan, bekerjasama dan berkomunikasi dengan baik,” sebutnya.

Menurutnya, itu juga seperti memutus benang konflik yang selama ini membelit mereka. Sekarang mereka bisa tertawa bebas dan riang kembali.

Ada satu pula yang membuat Lian memilih nama Sophia untuk proyek sosialnya itu. Itu karena anaknya, Sophia Ava Choirunissa Gogali (7) yang terlahir di tengah konflik. Ia risau trauma akan mempengaruhi jalan pikiran anaknya. Makanya ia dengan bantuan banyak orang tulus dan penuh semangat membangun proyek itu hingga kini.

[caption id="attachment_349659" align="alignnone" width="700" caption="LIAN GOGALI. Kerja keras Lian Gogali membuahkan hasil. Kini anak-anak berbeda suku dan agama yang terpisah karena konflik kembali bisa bersama-sama. Buku itu menurut Lian memutus benang konflik yang melilit mereka selama ini. (Foto: Jafar G Bua)"]

14141605591692529568
14141605591692529568
[/caption]

Kampanye melalui media sosial berupa Facebook dan Twitter membuat Project Sophia mendunia. Dari modal awal 5 buku yang mesti dibaca bergantian 100 anak, koleksi Sophia Library kian bertambah.

“Penyumbang buku pertama adalah peneliti dari Pakistan yang mengetahui aktifitas kami dari media sosial dan media massa. Lalu disusul oleh Komunitas Indonesia di Jepang,” kisah Lian.

Tercatat, sejumlah individu dan lembaga bermisi serupa menjadi penyumbang Sophia Library. Antara lain, 1001 Buku dari Jakarta, Sahabat 1 Buku dari DI. Yogyakarta, adapula Books for Indonesia dari Chicago, Amerika Serikat.

“Kami masih butuh banyak buku untuk perpustakaan keliling kami untuk bisa menjangkau desa-desa terpencil,” kata Lian pada Dr. Iman Soeseno dari Pusat Kajian Resolusi Konflik dan Pemberdayaan – Institut Pertanian Bogor yang mengunjunginya awal Oktober lalu di Dodoha Mosintuwu, Yosi, Tentena, Poso, Sulawesi Tengah.

Pria yang juga peneliti itu, terkesan dengan kegigigan Lian membangun kesadaran perempuan dan memajukan anak-anak yang menjadi korban konflik.

“Ini luar biasa. Ini harus didukung. Saya akan mengirimkan buku-buku yang semoga bermanfaat bagi anak-anak di sini,” janji Imam.

Tak Cuma Imam yang terkesan dengan kegigigan Lian di sana. Sejumlah mahasiswa dari sejumlah Universitas di Amerika Serikat bahkan pernah menjadi relawannya. Mereka bekerja membangun Project Sophia bersama-sama.

Sebutlah salah seorang di antaranya Jaime Menegus dari College of Law, University of Denver, Colorado, Amerika Serikat.

“Saya membaca tentang aktifitas Lian dari media sosial dan media online, karenanya saya lalu datang ke sini membantu Lian,” kata Jaime, dalam sebuah perjumpaan sekira tiga tahun lalu di Tentena.

[caption id="attachment_349663" align="alignnone" width="657" caption="RELAWAN DAN ANAK-ANAK. Seperti inilah interaksi antara relawan dan anak-anak korban konflik dalam Project Shopia. Selain mendapat kesempatan mengembangkan kegemaran membaca, mereka juga belajar Bahasa Inggris. (Foto: Jafar G Bua)"]

14141615991030504389
14141615991030504389
[/caption]

Menyusul kemudian sahabat-sahabat Jaime, semisal Hannah dan Alexis Brayton. Kemudian mahasiswa dari Australia, Juliet Thornton. Ada pula film maker asal Washington DC, Sue Useem yang selalu menyemangati Lian, juga membuat film tentang aktifitasnya itu. Ada juga Lisanne Boersma dari Belanda yang giat mengajari anak-anak korban konflik membuat buku cerita.

Kehadiran relawan-relawan asing ini juga membawa keuntungan sendiri. Anak-anak kemudian bisa belajar Bahasa Inggris dengan mereka. Itu menjadi modal mereka untuk mulai belajar membaca buku-buku dalam Bahasa Inggris. Menarik bukan?!

Sekarang, perpustakaan yang menjadi bagian dari Project Shopia itu, memiliki koleksi sebanyak 1020 buku anak-anak dalam Bahasa Indonesia dan 212 buku berbahasa Inggris. Sejumlah anak usia sekolah menengah pertama, seperti Yafet Poliwo (14), Nanda (13) dan Ivone (13) menjadi relawan setia Sophia Library.

Perpustakaan mereka kini berdiri anggun di tepi Danau Poso. Mereka menamai tempatnya saat ini sebagai Dodoha Mosintuwu atau rumah berkumpul. Bangunan di tepi danau itu, konstruksinya sebagian besar terbuat dari bambu. Dodoha juga menjadi pusat kerja Institut Mosintuwu yang menjadi tempat berkumpulnya perempuan berbeda suku dan agama dari seluruh wilayah Kabupaten Poso yang pernah diluluhlantakan konflik sosial.

Di akhir pertemuan awal Oktober lalu, Lian berharap banyak lagi relawan dari pelbagai daerah di Indonesia yang bisa datang membantu, agar ide ini meluas ke seantero negeri.

“Indonesia adalah bangsa dengan beragam suku, adat istiadat dan agama, tentu saja apa yang kami lakukan di sini adalah sebagian kecil gambaran tentang Indonesia. Dan tentu saja ini bisa diserap oleh banyak orang untuk kepentingan mencerahkan dan mencerdaskan anak-anak akan pentingnya menghargai beragamnya perbedaan-perbedaan itu,” pungkas Lian.

Saya, tentu saja bersepakat dengan Lian. Karenanya, pada paruh tahun lalu, saya mendokumentasikan aktifitas Lian dengan para perempuan yang berkebun organik. Saya pun turut larut dalam keriangan anak-anak di Project Sophia dan Sophia Library. Sungguh luar biasa. Saya mengatakan pada Lian, ini cara saya membantunya mengampanyekan kegiatan dan gagasan juga kerjanya ke seantero negeri. Film dokumenter yang menggambarkan sedikit kerja keras Lian dapat Anda tonton di: http://www.youtube.com/watch?v=ZEd8qaDo1hA. Selain Lian sejumlah pegiat sosial dari seantero negeri juga menjadi bagian dari film ini.

Nah, anda tertarik untuk menjadi relawan atau menyumbangkan buku-buku buat Sophia Library? Hubungi saja Lian Gogali, di Dodoha Mosintuwu, Gg. Mosintuwu, Yosi, Kelurahan Pamona, Pamona Pusalembah, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, 94663. Lian bisa dihubungi di nomor telepon genggamnya: 081328234161. Ditunggu!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun