Ada sebuah kisah yang diceritakan oleh Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya yang bertajuk "Al-Tibr Al-Masbuk Fi An-Nasihah Al-Muluk". Dalam bukunya, ia bercerita tentang Zaid bin Aslam, seorang budak generasi tabi'i (generasi sesudah sahabat) yang dimerdekakan oleh Sayyidina Umar bin Khatab.
Baca Juga: Abdullah Bukan AbdulMaal
Di suatu malam, Zaid bin Aslam melihat Sayyidina Umar sedang melakukan ronda malam bersama para petugas ronda. Lalu ia mengikutinya dari belakang.
Ketika berada di luar kota, Sayyidina Umar bersama para petugas lainnya melihat cahaya api yang berasal dari rumah. Mereka kemudian mendekat ke arah cahaya api itu berasal.
Ketika sampai di tempat, dilihatlah seorang janda anak tiga yang sedang menangis. Sang ibu sedang meletakkan panci di atas tungku yang sedang menyala. Bibirnya bergetar sambil mengadu kepada Tuhan "Tuhanku, berikan keadilan atas Umar kepadaku dan tuntutlah agar dia memberikan hak kami. Dia kenyang sendiri, sementara kami merasakan kelaparan."
Ketika mendengar ucapannya, Umar masuk sambil mengucapkan salam dan memohon izin untuk masuk.
Sang ibu menjawab, "Jika engkau bermaksud baik, maka masuklah".
Baca Juga: Abdullah Bukan AbdulMaal
Umar lalu masuk dan bertanya tentang keadaan drinya dan ketiga anaknya.
Perempuan itu mengatakan, "Aku dan Anak-anakku datang dari tempat yang jauh, Aku ketakutan dan mereka kelaparan. Kami dalam keadaan amat payah dan sangat lapar. Mereka tidak dapat tidur lelap, karena perutnya kosong".
"Apakah gerangan yang ada dalam panci di atas tungku itu?" Tanya Umar sambil menunjuk panci di atas tungku itu.
"Aku masukan air di dalamnya agar mereka mengira aku sedang masak nasi, sehingga mereka bisa bersabar menunggunya" Jawab perempuan tersebut.
Setelah mendengar cerita dari perempuan tersebut, Sayyidina Umar langsung keluar menuju warung rempah-rempah dan ke warung yang lain untuk membeli beras (gandum) satu karung. Setelah membelinya, Sayyidina Umar kembali lagi ke rumah perempuan anak tiga itu.
Zaid bin Aslam melihat Sayyidina Umar memikul sendiri barang-barang yang dibelinya. Zaid kemudian mendekat dan memintanya untuk membawa barang yang dibawanya. "Tuan, biarkan aku yang membawanya."
Umar menjawab "Jika engkau yang memikulnya, siapa yang akan memikul dosaku dan siapa pula yang akan menghalangi terkabulnya pengaduan (do'a) perempuan dan anak-anaknya itu atasku."
Zaid bin Aslam pun terdiam mendengar jawaban dari Umar bin Khatab.
Sepanjang perjalanan Umar tak henti-hentinya menangis. Manakalah sampai ke rumah perempuan anak tiga itu, Umar menyerahkan semua bahan makanan yang sudah ia beli di warung.
Perempuan itu menerimanya dan mengucapkan terima kasih kepada Sayyidina Umar "Semoga Allah membalas budi baikmu, Nak".
Umar bin Khatab kemudian memasukan bahan-bahan tersebut ke dalam panci dan menyalakan api. Manakalah api meredup, ia meniup bara api itu hingga debu beterbangan mengenai wajahnya yang bersih.
Ia menunggu makanan itu sampai matang. Ketika sudah matang, Umar kemudian meletakkannya ke atas piring sambil mempersilahkan mereka makan.
Lalu Umar mengatakan, "Ibu, tolong jangan mendoakan buruk atas Umar, karena dia tidak mendengar apa pun tentang nasib ibu dan anak-anak ini."
Baca Juga: Abdullah Bukan AbdulMaal
Baca Juga: Mengenal Konsep Minimalisme: Solusi Bijak Menghadapi Budaya Pamer Kekayaan
Teman-teman, semoga dalam kisah Sayyidina Umar yang diceritakan oleh Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya, memberi pelajaran bagi kita.
Baca Juga: Mendalami Pesan Cinta dan Kesatuan dalam Puisi Jalaluddin Rumi
Mungkin, sangat amat jarang kita temui, sosok pemimpin yang seperti Umar di zaman sekarang. Semoga kita yang membacanya menjadi Umar berikutnya, yang mewarisi sifat-sifat baiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H