Kita sebagai manusia tentu memiliki ketergantungan terhadap makhluk-makhluk lain yang Tuhan ciptakan. Seiring berkembangnya zaman dengan peradaban yang katanya semakin maju, manusia menjadi makhluk yang paling memiliki peran di buana ini sehingga manusia mampu menguasai setiap sektor kehidupan. Namun, pernahkah sahabat bertanya, posisi manusia dalam buana ini ada di mana dan sebagai apa?
Tentu jika merujuk pada ayat-ayat Tuhan, manusia diberikan otoritas untuk mengolah segala potensi yang ada di buana ini. Jika demikian, bagaimana dengan banyaknya kerusakan yang terjadi di muka bumi? Mengangkat sumber utama dari buku berjudul “Etika Lingkungan Hidup” karya A Sonny Keraf, mari kita kupas sedikit mengenai peranan dan posisi manusia dengan lingkungan pada sekmen ini.
Tujuan Penciptaan Manusia
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang sempurna. Berbekal akal dari-Nya, manusia mampu menciptakan apa saja. Jika berdasar pada ayat-ayat Tuhan, manusia tercipta untuk menjadi khalifah di muka bumi, menjadi pemimpin jagad raya beserta segala isinya, termasuk alam tentunya. Lalu, apakah sepenting itu? Sebuah kutipan menyebutkan, bahwa”Kehidupan akan berlanjut ketika masa depan itu ada”. Manusia memiliki peranan penting untuk menciptakan masa depan.
Sayangnya, manusia seringkali lupa akan batasan. Rasa nyaman yang disuguhkan alam justru menjadikannya semakin bertindak semena-mena. Manusia menjadi semakin tidak terkontrol dengan adanya segala akses instan dan kemudahan,salahsatunya adalah produk teknologi. Kita semua tahu, bahwa handphone memiliki peranan penting dewasa ini, mulai dari kegiatan keagamaan, pekerjaan, sampai segala bentuk hiburan dengan mudah diakses melalui gawai yang setiap saat kita bawa ke mana-mana.
Hal tersebut sejalan cara pandang hedonism, di mana ketika kita mendapatkan dan membuat kesenangan, maka ada yang harus dikorbankan. Semakin manusia dimudahkan, semakin dia tidak peduli terhadap lingkungan. Manusia dengan segala kecanggihannya dewasa ini seolah-olah merasa bahwa dirinya tidak butuh apapun dan siapa pun. Dia seolah lupa bahwa nyatanya, manusialah yang membutuhkan alam sedangkan alam tidak butuh manusia. Tanpa manusia, alam tetap mampu menjalankan daur hidupnya, meskipun “katanya” tidak secepat dengan bantuan dan teknologi yang manusia ciptakan. Tetapi jika manusia hidup tanpa alam, akan adakah yang disebut “kehidupan” itu? Mari jadikan itu sebagai bahan renungan.
Bagaimana Posisi Manusia dengan Alam?
Dalam buku “Etika Lingkungan Hidup” tersebut disebutkan ada 3 sentris yang menggambarkan hubungan antara manusia dengan alam, yakni biosentrisme, eksosentrisme, dan antroposentisme. Biosentrisme merupakan teori di mana manusia dan alam memiliki kedudukan yang sejajar, karena teori ini mengagungkan nilai kehidupan yang ada pada ciptaan, sehinga komunitas moral tidak tidak lagi dapat dibatasi hanya pada ruang lingkup manusia. Eksosentrismemerupakan teori di mana setiap elem memiliki perana yang saling berhubungan. Manusia dengan lingkungannya akan saling memengaruhi dan terpengaruh, bahkan benda mati sekali pun memiliki peranannya dalam proses kehidupan. Sedangkan antroposentrismemerpakan paham di mana manusia sebagai segala maha, di mana jika manusia tidak ada maka tidak aka nada kemajuan. Kehidupan dunia akan berjalan dengan monoton, tidak ada perkembangan dan pergerakan. Manusia sebagai pusat peradaban menjadi peran utama yang memegang kendali atas segala kondisi. Selain itu, para ahli yang lain juga mengungkapkan banyak sentris yang lainnya.
Mengapa Tidak Teosentrisme?
Teosentrisme merupakan teori di mana segala sesuatunya berpusat pada Tuhan. Maksudnya, teori ini memberi nilai kepada setiap hal yang mengandung nilai ketuhanan (ciptaan Tuhan). Dalam kata lain, teori ini mengangkat tentang kemuliaan setiap unsur sebagai bagian dari ciptaan Tuhan. Dalam teori ini, setiap hal memiliki makna sebagai bentuk penghambaan kita kepada Tuhan dengan menjaga dan melestarikan segala ciptaan-Nya, baik berupa tumbuhan, hewan, bahkan benda-benda mati seperti pasir dan batu. Harapannya dengan teori ini manusia dapat hidup dengan bijak dan lebih menghargai keberadaan lingkungan dan perananya.
Namun, penerapan teori ini tidak sepenuhnya baik. Sebab segala yang berhubungan dengan Tuhan, maka akan berkaitan dengan dengan agama. Yang di mana ada beberapa teks agama yang kemudian di salahpahami mengenai posisi manusia di muka bumi ini sehingga memunculkan superioritas dan ego yang tinggi di antara mahluk-mahluk lainya.
Sebaiknya Manusia Ada di Mana?
Pertanyaan ini sulit untuk mendapat jawabannya, karena pada dasarnya manusia tidak pernah merasa puas. Jika sudah menemukan satu jawaban pun, akan tetap mencari jawaban-jawaban lainnya. Fokusnya sekarang adalah bagaimana manusia berdasarkan segala teori yang ada untuk menjaga lingkungan. Untuk merasakan bagaimana manfaat alam, kembali ke manusia itu sendiri. Bagaimana ia memperlakukan alam?
Menurut Tan Malaka, dalam hidup kita harus mengunakan logika. Cari tahu tentang segala sesuatunya. Perlunya dibentuk manusia urbamen, yaitu manusia yang kreatif dan punya kekuatan dan keinginan agar yang mudah itu dipersulit. Maksudnya, jangan mau terima jadi, instan langsung ada. Tetapi mencari tahu segla sesuatunya terlebih dahulu dan pahami uraiannya. Menjabarkan bagaimana cara hidup dengan benar, bagaimana menjadi sosok manusia itu sendiri.
Bicara Sebab, Bicara Akibat
Yang menciptakan alam adalah Yang Maha Kuasa. Alam tidak akan hancur kecuali Allah yang berkehendak. Tetapi alam akan rusak dan semakin rusak. Jika rumah (bumi) kita ingin nyaman, kita harus berbuat apa? Segala kerusakam alam adalah akibat dari manusia itu sendiri. Mulailah dengan sesuatu yang kecil, membuang sampah pada tempatnya misalnya. Sebab, ketika manusia merusak alam, Tuhan tidak rugi, alam tidak rugi.
Dari penuturan di atas dapat disimpulkan bahwa, “Posisi manusia adalah mendamping dan berdampingan dengan alam”. Kadang kala orang mencari cinta, padahal harusnya mencari bagaimana cara mencintai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI