Mohon tunggu...
Jaelan Sulat
Jaelan Sulat Mohon Tunggu... PNS -

Penanggung jawab program pencegahan dan pengendalian penyakit dinas kesehatan kabupaten, pendiri dan pegiat lembaga sosial peduli HIV, suami dan bapak 3 putri yang berusaha tetap setia. membaca dan menulis adalah keseimbangan untuk berbagi...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Migrasi dan (perubahan) Perilaku Seksual

13 Maret 2014   21:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:58 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Atas tulisan saya terdahulu (Kompasiana, 13/3/2014) berjudul ‘Cerita Sofi: menikmati Kebebasan di Negara Tujuan’ beberapa tanggapan dan komentar masuk ke inbox saya. Intinya menanyakan apakah tulisan tersebut fiktif ataukah faktual. Lainnya meminta ulasan atau penjelasan karena memang dalam tulisan tersebut hanya berisi potongan-potongan kutipan dari tokoh utama yang bernama Sofi.

Tulisan tentang Sofi, termasuk tulisan sebelumnya yang berjudul ‘Pengalaman Sofi: Cerita Kerentanan TKW di Sepanjang Proses Migrasi’ (Kompasiana, 5/3/2014) saya tulis berdasarkan wawancara mendalam terhadap seorang mantan pekerja migran perempuan atau tenaga kerja wanita (TKW) yang ‘kebetulan’ terinfeksi virus HIV. Nama tokoh, yaitu Sofi dan berikut nama-nama tempat yang saya tuliskan (kecuali nama-nama tempat di Hongkong) bukanlah nama yang sebenarnya. Maksud wawancara itu sendiri adalah untuk mendapatkan gambaran bagaimana kerentanan dan risiko yang dihadapi kawan-kawan pekerja migran perempuan terhadap penularan HIV di sepanjang proses migrasi yang mereka hadapi. Tentu saya tidak bermaksud membuat generalisasi dari hasil wawancara mendalam tersebut.

Mengutip Gagnon (1990) dan Laumann et al. (1994), bahwa perilaku individu dibentuk oleh budaya dimana mereka berada, tak terkecuali perilaku seksual. Migrasi internasional atau perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lain diantaranya menyebabkan pertentangan budaya (cultural class) dimana norma dan tradisi dari tempat asal berhadapan dengan norma dan tradisi di tempat baru. Migrasi secara signifikan merusak situasi kehidupan primordial dengan memindahkan individu dalam lingkungan yang asing, lepas dari jaringan sosial, dan struktur pendukung sebelumnya. Tanpa kecakapan budaya (cultural competency) yang kuat, migrasi tak ayal dapat menjerembabkan pelakunya pada gegar budaya (cultural shock) yang tidak kepalang.

Tak kalah penting, migrasi mengakibatkan pula perpisahan secara fisik dengan pasangan, suami atau istri. Umumnya pekerja migran kita berangkat ke luar negeri tanpa pasangan (single migration) dan bekerja dalam waktu relatif lama, minimal dua tahun sesuai kontrak kerja mereka. Sebagai seorang laki-laki atau perempuan yang sudah menikah dan hidup jauh dari pasangannya, dengan nyata berimplikasi untuk timbulnya dorongan seksual di tempat baru. Seseorang yang sebelumnya dapat menyalurkan kebutuhan dasarnya dengan pasangan di rumah kini tidak bisa lagi. Akibatnya, pekerja migran berpeluang mencari dan membangun hubungan sosial baru dengan orang lain, dimana kadang-kadang berkembang menjadi kedekatan secara seksual. Joint Learning Initiative on Children and HIV/AIDS (2009) menyatakan bahwa pekerja migran perempuan yang telah menikah, lebih mempunyai kenekadan mengambil risiko melakukan hubungan seksual, baik untuk memenuhi kebutuhan biologis ataupun untuk melindungi keselamatan dirinya atau bahkan untuk mendapatkan uang.

Migrasi juga menjauhkan individu dari pengawasan keluarga besar dan anggota masyarakat dan karena itu memperlemah kontrol sosial. Kehidupan yang jauh dari keluarga dan lingkungan asal menjanjikan kesempatan untuk bertemu dengan orang baru dan meninggalkan tradisi yang telah dipersepsikan sebelumnya. Lingkungan baru juga menjanjikan kesempatan untuk mempelajari hal-hal yang baru dan kesempatan untuk mengadopsi perilaku-perilaku yang jauh berbeda dari tradisi, norma sosial, dan aturan budaya daerah asal. Migrasi telah membuka batasan-batasan di tempat asal kepada situasi yang lebih bebas. Para migran yang berada jauh dari rumah cenderung menyalahgunakan kebebasan sosial mereka dengan melakukan hubungan seksual sembarangan atau menyalahgunakan narkoba yang semestinya mereka hindari, sebagaimana yang dialami Sofi.

Kehidupan sosial pekerja migran yang jauh dari lingkungan asal juga mengakibatkan timbulnya tekanan-tekanan (stress) baik fisik apalagi psikis. Tekanan fisik pada umumnya dialami pekerja migran perempuan sebagai akibat dari perlakuan kasar di tempat kerja, seperti dianiaya, diperkosa, dipukul, disiram air panas, dikurung, dan lainnya. Tekanan fisik yang lain adalah kelelahan akibat kerja yang terlalu keras. Tekanan psikis yang dialami lebih banyak disebabkan oleh tekanan ekonomi dan sosio-kultural untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Tekanan secara psikologis ini kemungkinan juga merupakan manifestasi ketidakmampuan mereka dalam beradaptasi di tempat baru tersebut.

Berbagai tekanan yang dialami mengakibatkan mereka mencari pelarian untuk dapat melupakan atau melepaskan diri dari tekanan-tekanan tersebut. Sifat migrasi yang terbuka dan lepas dari kontrol sosial lingkungan asal, menyebabkan mereka cenderung untuk berbuat lebih bebas sebagai salah satu cara untuk melepaskan diri dari tekanan yang mereka hadapi. Hal inilah yang kemungkinan besar turut mendorong terciptanya kondisi kehidupan seksual yang lebih permisif.

Pekerja migran perempuan yang bekerja ke luar negeri tanpa pasangan dan tidak dapat dengan segera menemukan kontak untuk dimintai bantuan, karena sempitnya pilihan banyak pula yang terjebak dalam praktek prostitusi untuk mendapatkan tempat tinggal, makanan, barang, uang, atau perlindungan. Pekerja migran meskipun menghasilkan lebih banyak uang dibandingkan dengan yang mereka dapat di negara asal, penghasilan mereka tetap saja masih kurang bila dibandingkan dengan penghasilan rata-rata penduduk negara tujuan. Karena itu kehidupan mereka di sana relatif lebih miskin.Terbatasnya penghasilan dan tingginya biaya hidup di negara tujuan menyebabkan banyak pekerja migran perempuan menukarkan seks untuk mendapatkan uang secara mudah.

Seks tidak aman adalah cara yang paling umum untuk penularan HIV. Penggunaan alkohol dan obat-obat terlarang lainnya dapat merusak daya pikir dan penilaian seseorang. Saat kita dalam pengaruh alkohol atau obat terlarang lain, kita bisa jadi melakukan hal-hal berisiko yang sebenarnya tidak akan kita lakukan disaat dalam kesadaran penuh, seperti berhubungan seksual tanpa kondom atau menggunakan jarum suntik bersama-sama.

Sofi, sebagaimana pekerja migran perempuan lain yang masih sangat muda tentu mempunyai dorongan seksual yang tinggi. Di negara asing ia menemukan sebuah lingkungan yang relatif bebas dari batasan-batasan norma sosial yang ada di tempat asal. Di kampung halaman, dorongan seksual dan keinginan untuk memuaskannya dapat diredam dengan nilai-nilai budaya dan mekanisme pengawasan masyarakat yang berlaku. Tetapi di negara tempat ia bekerja sekarang, nilai-nilai budaya dan mekanisme kontrol sosial dengan sendirinya mengendur, sehingga apa yang tidak dilakukan di kampung halamannya menjadi sangat mungkin dilakukan di tempat kerjanya yang baru.

Demikianlah situasi-situasi yang mungkin dihadapi Sofi dalam perjalanannya bekerja ke luar negeri. Situasi-situasi tersebut saling berkomplemen dan tanpa disadari telah merubah perilaku seksualnya. Dan kita boleh saja menduga ia tertular virus HIV melalui kaitan-kaitan situasi tersebut di atas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun