Mohon tunggu...
Jaelan Sulat
Jaelan Sulat Mohon Tunggu... PNS -

Penanggung jawab program pencegahan dan pengendalian penyakit dinas kesehatan kabupaten, pendiri dan pegiat lembaga sosial peduli HIV, suami dan bapak 3 putri yang berusaha tetap setia. membaca dan menulis adalah keseimbangan untuk berbagi...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan

26 November 2014   15:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:48 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dari semua kualifikasi yang harus dipenuhi oleh seorang ilmuwan, Weinberg (1978) menempatkan tanggung jawab (sense of responsibility) pada urutan paling atas.Lebih lanjut ia menyatakan bahwa boleh jadi seorang ilmuwan adalah seorang yang cerdas, imaginatif, cekatan, memiliki penguasaan ilmu yang mendalam, luas, dan seksama. Akan tetapi ia tidak cukup pantas disebut ilmuwan manakala ia tidak memiliki rasa tanggung jawab.

Apa yang disampaikan Weinberg lebih dari 35 (tiga puluh lima) tahun silam tersebut relevan hingga saat ini. Kasus-kasus aktual yang mendominasi pemberitaan media massa hingga hari ini adalah hal-hal yang berkenaan dengan apa yang diungkapkan Weinberg. Tentu kita masih ingat laporan utama yang diketengahkan Majalah Tempo edisi 24 Februari – 2 Maret 2014 tentang ulah seorang ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang ditengarai memainkan kesempatan label “halal” secara “haram”. Halaman depan (cover) majalah edisi tersebut berupa ilustrasi kaleng dengan gambar babi dengan tulisan dibawahnya “DIJAMIN HALAL” dengan logo MUI. Di samping kaleng itu ada tulisan: “ASTAGA! LABEL HALAL. Petinggi Majelis MUI ditengarai memperdagangkan label halal. Tempo melacak hingga Australia dan Belgia.”

Lepas dari kesahihan isi berita majalah tersebut, tetaplah membuat kita semua terhenyak. MUI yang berisi para ilmuwan-agamawan adalah lembaga yang berwenang memberi label halal suatu produk, termasuk produk luar yang akan masuk ke Indonesia. MUI juga memberi izin atau lisensi kepada perusahaan di luar negeri untuk memberi sertifikat halal yang diakui di Indonesia. Dalam prakteknya, salah seorang oknum ketua MUI memainkan otoritas label halal untuk kepentingan pribadinya. Walhasil, ada beberapa produk yang semestinya tidak memenuhi syarat menyandang label halal tetapi dinyatakan sebagai produk halal. Masyarakat luaslah yang menanggung dampaknya.

Contoh kasus lainnya yang masih lekat dalam ingatan kita adalah kontroversi hasil hitung cepat (quick count) pemilihan umum Presiden tanggal 9 Juli 2014 silam. Ulah beberapa lembaga survei tersebut nyaris menimbulkan konflik horizontal diantara sesama warga bangsa. Beberapa hasil hitung cepat menyatakan pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menang. Hasil lainnya menunjukkan Jokowi-JK unggul. Selisih perbedaannya bahkan mencapai 5 persen.

Terdapat keanehan-keanehan menyangkut hasil hitung cepat lembaga-lembaga survei tersebut yang notabene berisi para ilmuwan (peneliti) yang tentunya menguasai metodologi dengan sangat baik. Keanehan pertama, kita menduga sangat tidak mungkin mereka tidak memahami metode sampling sehingga sampel tidak representatif terhadap populasi. Kedua, sangat tidak mungkin mereka memahami metode sampling tetapi pelaksanaan teknis di lapangan berantakan, sehingga data tidak akurat. Kemudian yang ketiga, tidak mungkin pula mereka tidak memahami metodologi dan tidak turun ke lapangan, atau tidak mempunyai kerangka sampel TPS, tidak mempunyai enumerator, bahkan tidak mempunyai data center. Sehingga boleh saja kita menduga data yang mereka sampaikan ke publik bukan dari lapangan melainkan fiktif, diubah atau diutak-atik sesuai kepentingan pihak tertentu.

Dua kasus di atas menunjukkan betapa ‘kekuasaan’ yang disandang kaum ilmuwan rawan disalahgunakan untuk berbagai kepentingan. Tepat sekali apa yang dikatakan Bronowski, bahwa tidak ada seorang pun ilmuwan yang kebal terhadap infeksi kekuasaan politik dan korupsi. Hanya rasa tanggung jawablah yang dapat mengendalikan dan mengarahkan perilaku mereka sehingga tetap berada dalam batas-batas kedudukan sebagai ilmuwan.

Secara umum Frankel (1994) mengelompokkan tanggung jawab ilmuwan ke dalam dua jenis. Pertama, tanggung jawab ke dalam yang ditujukan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Tanggung jawab ini menuntut para ilmuwan untuk selalu setia terhadap standar dan norma praktek yang telah disepakati oleh komunitasnya. Jenis kedua adalah tanggung jawab yang ditujukan keluar terhadap masyarakat yang lebih besar. Tugas inilah yang biasa disebut sebagai tanggung jawab sosial ilmuwan.

Empat Pilar Dasar

Setidaknya ada empat pilar alasan yang mendasari adanya tanggung jawab sosial ilmuwan. Empat pilar tersebut mencakup otonomi profesional (professional autonomy), keahlian khusus (special expertise), dampak ilmu pengetahuan (impact of science), serta dukungan masyarakat terhadap pengembangan ilmu pengetahuan (public support of science).

Otonomi profesional merepresentasikan kewenangan yang dimiliki seorang ilmuwan untuk mempraktekkan keahlian yang dimiliki, dimana keahlian tersebut tidak dimiliki oleh orang lain. Otonomi profesional ini merupakan salah satu privilege yang mereka miliki untuk ‘memonopoli’ bidang keahlian tertentu. Seorang dokter bedah misalnya, memiliki kewenangan melakukan apapun terhadap pasiennya dalam lingkup keahlian yang dimilikinya. Apapun yang ia katakan, ia tuliskan, atau ia lakukan di ruang praktek mutlak diikuti dan dituruti oleh pasien tanpa penolakan sedikit pun. Pasien berada dalam posisi membutuhkan pelayanan profesional sang dokter dan ia awam terhadap bidang keahlian profesional tersebut. Kekuasaan inilah yang rawan untuk disalahgunakan dan berisiko tinggi untuk terjadinya pelanggaran.

Oleh karenanya, otonomi yang dimiliki kaum ilmuwan di satu sisi perlu dibarengi dengan tanggung jawab sosial di sisi yang lain. Privilege-privilege yang berhubungan dengan otonomi profesional secara bersamaan membawa tanggung jawab untuk selalu menunjukkan komitmen pada standar etik tertinggi dalam rangka melindungi pengguna jasa profesional mereka.

Keahlian khusus dalam bidang profesional tertentu merupakan kelebihan yang melekat pada seorang ilmuwan. Karena keahlian khusus tersebut, masyarakat membutuhkan pandangan-pandangan ilmiah yang independen dan reliabel ketika hendak memutuskan suatu kebijakan. Dengan keahlian khusus dan keterampilan teknis mereka, para ilmuwan memiliki kemampuan istimewa untuk menunjukkan peluang-peluang sekaligus bahaya-bahaya yang mungkin terjadi berkaitan dengan bidang pekerjaan mereka dan memberikan pertimbangan dalam menghadapi suatu permasalahan. Mereka sering diminta oleh masyarakat untuk melakukan tugas-tugas tersebut. Dan karena tanggung jawab sosial yang diemban, mereka harus rela melakukan perannya dengan penuh kesungguhan.

Dampak ilmu pengetahuan diasosiasikan dengan kenyataan bahwa ilmu pengetahuan bukan sekedar pengetahuan (knowing) belaka, tetapi juga menyangkut tindakan atau perbuatan (doing). Pelaksanaan penelitian (research) secara langsung bisa berdampak terhadap manusia, binatang atau lingkungan. Penerapan ilmu pengetahuan juga mempunyai dampak mendalam terhadap kemanusiaan dan kelangsungan hidup bumi. Oleh sebab itu, ada prinsip dasar moralitas yang menuntut para ilmuwan untuk bertanggung jawab terhadap konsekuensi-konsekuensi tindakannya terhadap yang lain. Para ilmuwan tidak bisa meninggalkan implikasi-implikasi yang berkaitan dengan tindakan-tindakan dalam lingkup pekerjaan mereka.

Dukungan masyarakat terhadap pengembangan ilmu pengetahuan diwujudkan melalui investasi mereka dalam proses pendidikan dan pelatihan ilmuwan, seperti halnya dalam penyelenggaraan penelitian dan penyediaan infrastruktur yang dibutuhkan dalam kesinambungan pendidikan dan penelitian ilmiah. Ilmuwan dituntut memiliki hasrat yang kuat untuk memberikan hasil terbaik kepada masyarakat. Sebagai imbal jasa atas investasi sosial yang telah diberikan, masyarakat berhak menuntut para ilmuwan bertanggung jawab terhadap apa yang mereka lakukan.

Tantangan ke Depan

Kebutuhan terhadap para ilmuwan untuk membantu Negara dalam merancang tujuan nasional dan menetapkan prioritas pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dipastikan akan semakin meningkat di masa mendatang. Terbatasnya anggaran pemerintah dan juga ancaman menipisnya sumber daya alam akan meningkatkan kebutuhan untuk mengaitkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan pencapaian tujuan nasional serta mencari alternatif cara-cara baru yang lebih tepat dan efisien. Karena keahlian khusus yang dimiliki, para ilmuwan memiliki posisi yang tepat untuk menyumbangkan kontribusinya dalam area tersebut.

Tanggung jawab sosial komunitas ilmuwan salah satunya juga diberikan terhadap keragaman dan perspektif multikultural dalam pelaksanaan penelitian dan penerapannya. Secara moral, ras dan masyarakat etnik minoritas harus diberikan kesempatan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai jalan untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan mereka. Masyarakat minoritas juga harus dilindungi dari eksploitasi para peneliti.

Kita bisa belajar dari kasus eksperimen Tuskegee (Tuskegee experiment) yang amat terkenal itu. Sebuah penelitian tentang Syphilis yang dimulai pada tahun 1930-an hingga 1970-an yang melibatkan 600 subjek laki-laki kulit hitam di Alabama, Amerika Serikat. Dalam kurun 40 tahun penelitian tersebut, tidak ada satu pun dari 399 subjek penelitian yang positif mengidap Syphilis yang diobati. Meskipun setelah Penicillin ditemukan sebagai pengobatan yang efektif di awal tahun 1950-an. Para subjek penelitian diabaikan partisipasi mereka dalam eksperimen tersebut.

Tantangan lain ke depan yang menuntut tanggung jawab sosial ilmuwan adalah menyangkut peningkatan literasi ilmiah dan pemahaman masyarakat terhadap ilmu pengetahuan. Peran komunitas ilmuwan dalam mengedukasi masyarakat agar ‘melek’ ilmu pengetahuan merupakan tanggung jawab yang mendasar. Hasil-hasil penelitian yang didapatkan perlu dipublikasikan dan dikomunikasikan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat. Para ilmuwan dituntut untuk mengejawantahkan ‘menara gading’ ilmu pengetahuan ke tengah-tengah masyarakat sehingga bermanfaat dan berkontribusi dalam membantu meningkatkan kesejahteraan mereka.

Penutup

Hak-hak istimewa yang dimiliki kaum ilmuwan di satu sisi membawa tanggung jawab sosial di sisi lainnya. Keduanya harus berjalan bersama-sama sebagaimana hak dan kewajiban. Tanpa adanya rasa tanggung jawab, maka sebenarnya predikat ilmuwan yang disandang seseorang telah gugur dengan sendirinya.

Alvin Weinberg, The Obligations of Citizenshipin the Republic of Science, Minerva (1978) 16: 1-3.

Ibid.

Majalah Tempo edisi 24 Februari – 2 Maret 2014.

Ibid.

Yulianto, Mengkritisi Berita Tempo Soal Label Halal MUI, http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/detil_page/8/1958. Diunduh tanggal 22 Oktober 2014.

Jacob Bronowski (18 January 1908 – 22 August 1974) seorang ilmuwan terkenal Inggris. http://en.wikipedia.org/wiki/Jacob_Bronowski. diunduh tanggal 22 Oktober 2014.

Quotes of Jacob Bronowski, http://www.brainyquote.com/quotes/authors/j/jacob_bronowski.html. diunduh tanggal 23 Oktober 2014.

Frankel, Mark S., Science as a Socially Responsible Community, Indiana University Foundation, 1994.

Ibid.

Ibid.

Ibid.

Ibid.

Ibid.

Tuskegee Syphilis Study Ad Hoc Advisory Panel, Final Report (Washington, D.C., U.S. Public Health Service, April 1973).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun