Mohon tunggu...
jaeful rohman
jaeful rohman Mohon Tunggu... Guru - Guru di sekolah dasar

Mengajar adalah keseharian ku dan bermedia menjadi bagian dari kegiatan keseharian.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ayo Para Guru, Nilai Seberapa Gelapnya Dirimu? (Tanggapan Tulisan tentang Sisi Gelap Guru)

17 September 2022   15:30 Diperbarui: 17 September 2022   15:32 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru memberikan pembelajaran di kelas (detik.com)

Melalui tulisan ini, saya akan sedikit menanggapi artikel dari beliau Ibu Dyan Arfiana Ayu Puspita dengan judul Noda dan Dosa Guru: Sisi Gelap Sebuah Profesi yang Dianggap Mulia yang dimuat pada salah satu media online berbasis di Jogja. Dalam artikelnya, beliau dengan pedenya membeberkan beberapa hal yang dianggapnya sebagai sebuah perbuatan dosa yang dilakukan oleh guru. Diantaranya memanipulasi nilai siswa, memberi bocoran soal, memberikan perlakuan khusus pada siswa tertentu dan berjualan buku LKS.

Membaca artikel ini, saya terkekeh lebih tepatnya tertawa sih karena ada benarnya juga. Tetapi jika dilihat lebih jauh, berkaca pada guru sebagai sebuah profesi maka setiap profesi yang ada pasti memiliki sisi gelapnya masing-masing (mungkin lebih tepatnya oknum). Tetapi judul yang begitu 'dark' dengan hanya empat poin jelas tidak adil. Kenapa tidak disandingkan dengan sisi terangnya?

Salah satu bahkan yang menjadi indikator pertama Noda dan Dosa Guru pada artikel tersebut adalah manipulasi nilai. Guru yang memanipulasi nilai siswa dianggap telah melakukan perbuatan dosa dan menghilangkan kemuliaan seorang guru (penafsiran saya dari artikel tersebut). Untuk menanggapinya, saya akan berbagi sedikit pengalaman.

Awal mengajar sekitar tahun 2012 di salah satu sekolah dasar negeri. Di sekolah tersebut saya mengajar kelas 2 dengan jumlah siswa 27 anak dan salah satunya sebut saja Budi. Dari guru kelas 1 saya sudah mendapat informasi bahwa Budi belum bisa membaca dan menulis. Bahkan dalam riwayat sekolahnya ia pernah keluar atau tidak berangkat sekolah selama setahun, kemudian masuk lagi. Artinya Budi telah berada di kelas 1 selama 3 tahun yaitu 2 tahun karena tinggal kelas dan 1 tahun karena tidak pernah berangkat sekolah.

Singkat cerita, hingga akhir semester dua atau kenaikan kelas Budi masih belum bisa membaca dan menulis. Ia hanya mampu menulis beberapa huruf saja padahal selama 1 tahun ini, meski tidak rutin saya selalu memberikan tambahan pelajaran. Karena keadaan tersebut jelas dia tidak akan mencapai KKM yang telah ditetapkan sekolah. Bingung, saya konsultasi dengan kepala sekolah dan rekan guru yang akhirnya dalam rapat kenaikan kelas Budi dinyatakan tidak naik kelas, dengan harapan 1 tahun kedepan di kelas dua akan ada perubahan yang lebih baik, ia bisa membaca dan menulis.

Namun kenyataannya berbeda. Budi mogok sekolah, ia kembali tidak berangkat. Kami datang ke rumahnya untuk membujuk agar ia kembali berangkat sekolah. Ia hanya terdiam bersembunyi dibalik ibunya dan menggelengkan kepala. Setiap pertanyaan kami tidak pernah dijawab. Hingga pada satu kesempatan, ibunya datang ke sekolah dengan sedikit menyindir mengatakan bahwa biarlah Budi tidak sekolah yang akan mendidik adalah Alloh SWT. Dan Budi pun putus sekolah.

Sebagai guru, saya merasa bersalah dan gagal. Seandainya waktu itu saya "memanipulasi" nilai sehingga Budi naik kelas, tentu kejadiannya akan berbeda. Toh masih tingkat dasar masih panjang perjalanan kependidikannya. Pikirku selama ini.

Kembali ke awal, apakah memanipulasi nilai siswa menjadi sebuah dosa? Bisa jadi. Dan bukan berarti sedang membenarkan atau bahkan mengajak untuk manipulasi nilai siswa, tetapi menyelamatkan pendidikan seorang anak tentu menjadi pertimbangan yang tidak boleh terlewatkan. Biarlah dosa dan pahala menjadi hak Tuhan Yang Maha Mengetahui.

Bekerja sama dengan penerbit, kami mengadakan LKS ke siswa yang ujung-ujungnya tombok karena ada saja yang tidak membayar bahkan sampai lulus. Kami membedakan siswa karena memang mereka berbeda tidak ada yang sama. Perbedaan tersebut pada perlakuan sesuai kebutuhan bukan pada layanan pendidikan. Untungnya kami saat ini tidak menjalankan bimbel di luar jam kerja. Jadi, seberapa gelapkah noda kami?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun