Sebagaimana yang kita tahu, masjid adalah rumah Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Ini bukan berarti Allah tinggal di dalamnya. Penyebutan sebagai rumah Allah karena Allah memang memuliakan masjid sebagai tempat ibadah di muka bumi ini. Allah juga memuliakan orang-orang yang sering memakmurkannya. Orang yang bolak-balik ke masjid termasuk 7 golongan yang akan dinaungi Allah di Padang Mahsyar nanti.Â
Meskipun disebut sebagai rumah Allah, tetapi kenyataannya, masih banyak masjid yang justru tidak ramah bagi kaum muslimin sendiri. Contohnya, masjid yang diberi tulisan "Dilarang Tidur di Atas Karpet!". Ini bagi musafir, jelas akan sangat menyulitkan. Mereka dari perjalanan jauh, singgah di sebuah masjid untuk salat dan beristirahat, tetapi malah dilarang berbaring. Ketika berbaring sedikit saja, sudah ditegur oleh pengurus masjid. Itupun dengan muka yang cukup mengerikan dan suara yang tidak kalah mengerikan pula.Â
Padahal, masjid adalah tempat beristirahat yang sangat murah. Tidak seperti di penginapan, apalagi di hotel, yang harus mengeluarkan kocek lebih dalam untuk ditempatinya dalam semalam. Malah, tidak sampai semalam, mau tidur 5 menit, tetap harus bayar di depan, Bos! Saya belum pernah mendengar cerita ada hotel yang silakan ditiduri dulu, bayarnya belakangan, kecuali tamu hotel adalah teman si pemilik hotel!
Perkenalkan, Masjid Al-Muhajirin
Saya merasa sangat senang membeli buku yang berjudul "Strategi Memakmurkan Masjid" yang ditulis oleh Kusnadi Ikhwani, Ketua Takmir Masjid Raya Al-Falah, Sragen. Masya Allah, masjid tersebut menjadi masjid percontohan nasional. Buku ini memang sangat luar biasa, membahas tentang masjid plus cara manajemennya. Pokoknya, diulas sedetail mungkin, mulai dari pengelolanya, tempatnya, bahkan cara mendapatkan dana segar untuk keberlangsungan masjid. Pokoknya, saya sama sekali tidak menyesal membeli buku tersebut.Â
Pada halaman 180-183, ada sebuah kenyataan yang menarik. Ini tentang Masjid Al-Muhajirin, Ambawang. Ini beda lho dengan Hambalang, meskipun diakhirnya tetap huruf g.Â
Masjid ini, menurut buku tersebut, akan kita temukan ketika melintasi jalan Trans Kalimantan Ambawang dan hendak menuju ke arah Tayan. Ada sebuah masjid yang bernama Al-Muhajirin.Â
Dari namanya saja, terlihat bahwa masjid ini memang fokus juga untuk melayani para musafir. Saking ramahnya, masjid ini pernah kemasukan pencuri sebanyak 27 kali! Waduh, Masya Allah, kita perlu geleng-geleng kepala plus menepuk jidat, nih!
Masjid Al-Muhajirin didirikan pada tahun 2005, salah satu perintisnya adalah Pak Ridho. Beliau belum lama menjadi muallaf sebelum masjid didirikan. Beliau memeluk Islam pada tahun 2000-an.Â
Ternyata, Masjid Al-Muhajirin tidaklah besar, ukurannya 10 meter kali 10 meter saja. Dari luar sih tampak sederhana dan biasa-biasa saja. Jadi, tidak terlihat megah, apalagi dengan arsitektur yang rumit.Â
Hal yang menarik adalah masjid ini dibuka selama 24 jam. Hayo, masjid ini bisa menyamai minimarket yang buka 24 jam, lho! Masa minimarket yang melayani tamu dengan urusan duniawi bisa mengalahkan masjid lain yang melayani tamu dengan urusan akhirat?Â
Ukurannya yang sedang-sedang saja itu justru mempunyai halaman parkir yang sangat luas. Pak Ridho dan para pengurus lain memang sengaja membuka masjid ini untuk para musafir. Silakan manfaatkan masjid untuk salat, istirahat, mandi, bersih-bersih, mencuci, malah kalau mau menginap juga dipersilakan. Bebas kok!
Lebih menarik lagi, Pak Ridho membangun dua buah bale-bale untuk digunakan tidur oleh para musafir. Satu bale-bale bisa menampung sampai puluhan orang. Nah, rombongan moge cocok juga singgah di masjid ini. Selain untuk beristirahat, juga lebih muhasabah untuk tidak terlalu sombong di jalan raya, eh!
Tidak hanya tempat menginapnya saja, para musafir juga disuguhkan minuman hangat. Ada pula kue-kue dan nasi. Semuanya gratis. Piye, enak? Tidak perlu ditambahi "jamanku toh" lah yaouw!
Saking terkenalnya masjid ini, seringkali membludak yang menginap di waktu-waktu tertentu. Oh, mungkin di masa liburan atau bisa jadi akhir pekan.Â
Pelayanan Super Ramah
Pak Ridho dan para pengurus Masjid Al-Muhajirin benar-benar memberikan pelayanan yang ramah kepada para musafir yang singgah. Mereka diajak mengobrol dengan menikmati makan malam yang lauk-pauknya istimewa.Â
Saat sedang mengobrol itu, Pak Ridho bercerita bahwa seringkali masjid dibobol oleh pencuri. Mereka pernah membobol kotak amal, mengambil mikropon, amplifier, sampai dengan speaker.Â
Penulis buku ini bertanya apakah Pak Ridho dan pengurus lainnya tidak marah masjidnya disatroni pencuri seperti itu? Ternyata, inilah jawabannya yang bikin nyes di hati. "Gak apa-apa, Bang. Mungkin mereka lebih membutuhkan daripada kami," jawab Pak Ridho dengan santainya seperti di dalam buku tersebut.Â
Meskipun sampai 27 kali pencuri masuk, tetapi Masya Allah, harta masjid yang dicuri selalu ada gantinya. Selalu saja ada yang baru dan lebih bagus daripada sebelumnya. Seperti pernah kehilangan mikropon dan salon gantung. Namun, tidak sampai sepekan, ada orang yang mengantarkan amplifier yang baru. Tidak hanya amplifier lho, tetapi dengan salon-salonnya. Apakah ini bukan warbiyasa?
Tetap Semangat Dong!
Pak Ridho tetap semangat dalam mengurus Masjid Al-Muhajirin. Adanya pencuri malah dianggap sepele saja oleh Pak Ridho dan para pengurus lainnya. Masjid tetap tidak dikunci seperti masjid pada umumnya. Malah, yang bikin geleng-geleng kepala lagi, pintu masjid justru dibongkar! Iya, benar, kamu tidak salah dengar, di buku itu, Masjid Al-Muhajirin sepakat tidak usah pakai pintu masjid. Kalau yang ini sih, minimarket dan apotek 24 jam kalah jauh. Sebab, dua tempat usaha itu meskipun promosinya buka 24 jam, tetapi masih ada pintunya. Kalau Masjid Al-Muhajirin, open house tiap saat. Tidak hanya pas lebaran seperti open house para pejabat itu, eh lagi!Â
Mungkin nanti pas mau ada pencuri lagi, melihat masjid tanpa ada pintu, dia akan merasa heran, lho, kok begini? Namun, mau sampai kapan dia akan terus menjadi pencuri? Apalagi tempat yang dicuri adalah rumah Allah. Rugi dong mencuri di rumah Dzat yang Maha Kaya. Mestinya dia dan kita melihat nama Masjid Muhajirin yang ramah musafir, sejatinya setiap manusia itu adalah musafir juga. Dunia bukanlah tempat tinggal, melainkan yang lebih tepat adalah tempat meninggal.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI