"Sesungguhnya Allah berfirman: Siapa saja yang memusuhi waliKu, maka sungguh Aku telah mengumumkan perang kepadanya. Dan tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku; yang lebih Aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku fardhukan kepadanya. Hamba-Ku terus-menerus mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku pun mencintainya. Bila Aku telah mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia pakai untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia pakai untuk berjalan.Â
Bila ia meminta kepada-Ku, Aku pun pasti memberinya. Dan bila ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pun pasti akan melindunginya." (HR. Al-Bukhri no.6502).
Luar biasa bukan, dampak dari ibadah-ibadah sunnah tersebut? Setiap kita meminta, Allah akan memberi. Apapun yang diminta, selama itu positif dan bermanfaat secara baik, Allah akan mewujudkannya. Apalagi dalam syariat Islam, kalau hanya ibadah wajib, salat misalnya, cuma lima kali sehari. Waktu 24 jam, diambil sepersekian persen untuk salat wajib, terasa masih sangat kurang. Makanya salat sunnah itu tidak terbatas waktunya, kecuali yang dilarang, yaitu: ketika tengah hari, saat matahari tepat di atas kepala dan juga saat matahari terbit dan tenggelam.Â
Namun, yang harus diperhatikan sebelum kita melaksanakan suatu ibadah adalah adakah dalilnya? Adakah perintahnya dari Allah dan rasul-Nya? Jika memang tidak ada perintahnya, buat apa juga kita laksanakan? Lha wong, ibadah itu pada intinya adalah mencari pahala dari Allah, kok. Kalau kita melakukan ibadah, tetapi Allah tidak suruh, Allah tidak rida, mana bisa dapat pahala, ya 'kan? Yang ada malah dapat dosa. Hem, dosa besar lagi!
Beda halnya dengan urusan dunia. Makan tempe misalnya. Kita harus bertanya, adakah larangannya di dalam Al-Qur'an maupun hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam? Jika tidak ada larangannya, maka dimakan saja. Jika dicari di dalam Al-Qur'an maupun hadits, jelas tidak ada perintahnya makan tempe.Â
Pilih Mazhab Sembarangan
Syekh Panji menyatakan bahwa model salat Idul Fitrinya semacam itu karena mengambil mazhab Bung Karno. Ini juga terkesan nyeleneh. Pertanyaannya sekarang, apakah Bung Karno pernah melaksanakan salat dengan model seperti itu? Mana bukti dokumentasinya? Mana videonya? Dan, mana pula bukti tertulisnya? Buku misalnya. Kalau tidak ada, jangan ngadi-ngadi, deh.
Hal yang dikhawatirkan nantinya orang juga bisa klaim. Apalagi dari pernyataan Syekh Panji itu yang tersebar luas di masyarakat. Bisa saja nanti ada orang mengaku mazhab Bung Hatta. Atau mazhab Jenderal Soedirman. Bisa saja bukan? Itu lain lagi salatnya. Entah bagaimana lagi, saya tidak tahu.Â
Padahal, dalam dunia Islam, dikenal cuma ada empat mazhab. Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali. Indonesia menganut mazhab Syaf'i. Nah, mengaku mazhab Syafi'i, tetapi sudah dilaksanakan semuanya belum? Sebenarnya yang utama itu bukanlah fanatik mazhab, tetapi mencari yang paling sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Semua imam mazhab mengatakan bahwa kalau ada yang lebih shohih, maka itulah mazhab mereka. Artinya, tinggalkan pendapat mereka dan ambil yang lebih benar.Â
Sementara mazhab Bung Karno, aduh, aduh, tepuk jidat deh! Kita pasti baru pertama dengar ada mazhab seperti itu. Padahal, Bung Karno itu bukanlah ulama. Beliau memang berjasa bagi negara kita, tetapi di bidang lain. Ulama yang hidup bersamaan dengan Bung Karno adalah Buya Hamka yang filmnya masih tayang di bioskop sekarang itu. Kenapa bukan mazhab Buya Hamka saja yang lebih pas karena beliau seorang ulama? Aduh, aduh!
Adapun tentang perempuan di depan. Ini juga ada aturan dalam salat. Allah dan Rasul-Nya yang telah mengatur bahwa sebaik-baik shaf bagi perempuan itu adalah di belakang. Berkebalikan dengan laki-laki, paling utama di depan, di barisan sebelah kanan imam. Masa ada pengaturan yang lebih baik daripada Allah dan Rasul-Nya? Katanya, itu untuk memuliakan perempuan. Memuliakan bagaimana? Kalau perempuan di depan, ketika dia rukuk dan sujud, maka pandangan laki-laki di belakangnya bisa melihat bagian belakang tubuh perempuan tersebut.Â
Antara suami dan istri saja, yang sudah nyata-nyata sah, legal, dan halal, salatnya tidak seperti itu, kok. Istrinya tetap di belakang suaminya. Jika ada anak laki-laki, istri tersebut lebih di belakang lagi. Jadi, agama ini sudah ada aturannya dan aturan itu pasti bagus. Tidak pernah Allah membuat aturan yang tidak bagus? Namanya Tuhan, kok salah bikin aturan? Itu pastilah manusia yang aturannya belum tentu bagus, punya peluang diubah, ditambah, dikurangi, atau bahkan dihilangkan saja.Â