Mulai dari masuk stasiun, ia bersiap dengan kartu prabayar di saku depan tas berbentuk kepala monyet kesayangannya. Entah bagaimana, ia juga punya waktu yang tepat untuk memakai tas itu di sisi depan badannya bukan di punggungnya. Katanya, “Soalnya kalau di belakang susah ngambil (kartu)nya.” Saat ada celah terlalu besar antara kereta dan peron, ia akan sebisa mungkin melompat. Kalau dirasakan terlalu besar, ia akan menoleh dan meminta bantuan untuk saya membopongnya. Di dalam kereta, ia memilih berpisah dengan ayahnya dan masuk ke dalam kereta khusus perempuan bersama saya. Berjanji, kami akan berjumpa lagi nanti, saat akan turun di stasiun yang menjadi destinasi kami.
Maka destinasi dan berbagai perhelatan yang memperkaya pengalaman, mendapatkan kesempatan untuk dikunjungi dengan kenyamanan baru. Berkereta! Dari mulai pergi ke taman, kota tua, perpustakaan, menonton pertunjukkan teater, napak tilas kemerdekaan, ke museum dan banyak lagi. Rasanya banyak tempat yang tadinya kami menyerah pada kekuatan kaki untuk menyetir kendaraan sendiri dan mengeluh pada borosnya pos keuangan untuk BBM, jadi punya solusi. Bisa naik KRL saja!
Untuk pribadi dewasa, nilai kenyamanan sebuah moda transportasi indikatornya kadang perlu diterjemahkan dalam sejumlah angka, KPI dan teman-temannya itu lah. Maka, waktu penentu kebijakan berusaha sekuat tenaga menawarkan alih moda dengan jaminan ketepatan waktu bahkan bandingan nilai rupiah yang harus dibayar pengguna; hasilnya masih tetap begitu-begitu saja. Karena banyak hal complicated yang dipikirkan otak dewasa bersama berbagai kepentingan dan motifnya. Tetapi buat makhluk kecil ini, KPI KRL terlihat dengan kenyamanannya saat berkereta, spesifiknya dengan tertidur lelap di kursi penumpang saat pulang bertualang. Awalnya di pangkuan saya. Seiring waktu, kami mulai mendiskusikan penumpang prioritas. Artinya kursi kami bisa diberikan kepada yang lain saat ada penumpang yang lebih membutuhkan, karena mereka lebih berhak dengan kerentanan yang dimilikinya saat itu. Ia belajar berbagi kenyamanannya dengan yang penumpang lain.
Saya tidak akan membandingkan kenyamanan untuk tergolek tidur dengan hal-hal lain yang tak kasatmata.
Maka, ia mulai membiasakan diri duduk di tengah penumpang lain yang baru dikenalnya. Bukan, ia bukan tipikal anak ekstrovert, tetapi ia cukup tahu kapan harus mengangguk dan menggelengkan kepala, termasuk menyenderkan kepala ke bahu ibu-ibu yang membuatnya nyaman, secara naluriah. Sehingga saat si Ibu hendak turun, beliau akan memanggil saya untuk menggantikan posisi duduknya agar kepala si Kecil tetap terletak saat tidur pulasnya masih punya waktu, sebelum kami turun.
Dalam sebuah perjalanan KRL pulang, ia punya privilese untuk duduk di samping seorang nenek difabel yang masuk ke kereta kami sore itu. Nenek itu tenang duduk mengatur setting alat yang membantunya dalam perjalanan setelah seorang petugas dari stasiun sebelumnya mengantarnya ke atas kereta sambil menitipkan, “Bojong ya, Bang!” kepada petugas yang ada di kereta.
Misteri abad ini untuk saya dalam hal transportasi umum adalah dapat mengintip kabin pengemudi. Tempat bersarang sang Masinis, pengemudi rangkaian kereta. Saya berhasil melihat, mengintip tepatnya, ruang kemudi saat menaiki kereta khusus perempuan. Juga beberapa kali saat mendapati pergantian shift masinis. Saya hanya menang beberapa langkah dari si Kecil karena baru mengandalkan KRL semenjak 2014. Ke mana saja sih saya?
Atas filosofi gak mau rugi inilah saya menunjukkan pada si Mau Tau Segalanya, “Bapak itu yang nyetir kereta ini lho!” sambil menjunjungnya tinggi agar tampak suasana ruang kemudi. Di luar dugaan, sang Masinis memutar kepalanya di perhentian ini. Ia tersenyum dan melambaikan tangan pada kami. Huooo! Saya membayangkan rasa yang membuncah. Berhasil menunjukkan padanya orang terpenting dalam rangkaian kereta kami.
Saya teringat sebuah buku dari SALAM, sebuah sekolah bercita rasa tidak biasa di Yogyakarta, tepat saat seorang fasilitator menanyakan kepada anak didiknya, "Siapa di antara mereka yang tahu bagaimana cara membuat kincir angin?" Salah seorang anak ingat pernah melihatnya di televisi tetapi lupa lagi caranya. Anak lain pernah membaca cara membuat kincir angin, sayangnya ia pun tidak ingat. Anak ketiga yang pernah membuatnya masih ingat caranya dan menawarkan kepada anak lain untuk membuatnya bersama.
Begitupula yang terjadi di rumah kami suatu kali, ia berhasil merangkai rasa yang ia ingat sebagai pengalaman seluruh inderanya di dalam kereta. Maka, replikasinya adalah mahakarya, sebuah sketsa, juga bunyi perkusi yang menyerupai ingatannya akan suara kereta saat melaju. Perpaduan dengan suara sambungan antarkereta yang diimajikannya dengan benda-benda yang disekapnya dalam wadah makanan tertutup.