Masalah air di wilayah Timur Tengah dan Afrika telah menjadi fokus perhatian dunia dalam beberapa dekade terakhir. Udara, yang merupakan kebutuhan utama manusia, sekarang telah bertransformasi menjadi penyebab ketegangan antara negara-negara di kawasan ini. Keterbatasan dalam ketersediaan air, ditambah distribusi yang tidak seimbang, menciptakan potensi konflik yang semakin meningkat. Artikel "Water Conflicts in the Middle East and Africa: The Study on Efforts to Find Based Solutions Regional Cooperation Framework" mengulas bagaimana dinamika ini dapat memicu ketidakstabilan kawasan, serta memberikan peluang untuk kolaborasi antarnegara dalam pengelolaan sumber daya air.
Ketegangan yang muncul akibat konflik air ini tidak hanya berpengaruh pada aspek lingkungan, tetapi juga memengaruhi hubungan geopolitik di area tersebut. Negara-negara seperti Mesir, Ethiopia, Turki, dan Irak telah menghadapi ketegangan akibat pengelolaan sungai yang melewati perbatasan mereka. Artikel ini menekankan signifikansi pengelolaan air yang adil dan berkelanjutan sebagai langkah utama untuk mencegah peningkatan konflik. Dengan meningkatnya ancaman kekeringan yang semakin serius, air sekarang dianggap sebagai komoditas strategis yang essential, bahkan disebut sebagai "emas biru".
Sebagai sumber daya yang krusial, air di wilayah Timur Tengah dan Afrika menjadi objek persaingan, terutama di tengah meningkatnya kebutuhan akibat pertumbuhan penduduk dan perubahan iklim. Dalam wawancara yang telah kami lakukan dengan narasumber kami, Laila Indriyanti Fitria, S.Sos, M.Si, Selaku kaprodi HI Universitas Jayabaya, menyatakan bahwa faktor-faktor lingkungan seperti perubahan musim dan pemanasan global juga memperparah keadaan ini. Laila menekankan bahwa ketergantungan negara-negara tanpa akses laut pada sumber air yang terbatas menjadi tantangan signifikan, terutama saat musim kering yang berkepanjangan melanda daerah tersebut.
Oleh karena itu, penyelesaian konflik air ini tidak hanya tergantung pada kebijakan nasional, tetapi juga memerlukan kolaborasi internasional yang berdaya tahan. Artikel dan hasil wawancara mengindikasikan bahwa inisiatif seperti "Petersberg Declaration" bisa menjadi contoh untuk membentuk mekanisme kolaborasi yang efisien. Dengan pendekatan yang kolaboratif dan integratif, diharapkan konflik sumber daya air yang selama ini menjadi tantangan dapat diubah menjadi kesempatan untuk mempererat kerjasama antarnegara dan menjaga kelestarian sumber daya air bagi generasi yang akan datang.
Artikel " Water Conflicts in the Middle East and Africa: The Study on Efforts to Find Based Solutions Regional Cooperation Framework " menyajikan analisis mendalam mengenai bagaimana terbatasnya ketersediaan air bisa memicu konflik di kawasan Timur Tengah dan Afrika. Dengan latar belakang geografis yang kaya akan sungai-sungai yang melewati perbatasan negara, seperti Sungai Nil dan Tigris-Euphrates, air menjadi sumber daya penting yang sering digunakan sebagai alat negosiasi serta dapat menimbulkan sengketa di antara negara-negara yang berbagi aliran sungai tersebut. Tulisan itu menjelaskan bagaimana negara-negara seperti Mesir, Ethiopia, dan Turki memanfaatkan penguasaan sumber air untuk memengaruhi kebijakan negara lain, menunjukkan adanya potensi air sebagai alat kekuatan geopolitik.
Tidak seperti analisis artikel, hasil wawancara dengan narasumber menyajikan sudut pandang dari perspektif lingkungan dan sosial. Narasumber menegaskan bahwa faktor alam seperti perubahan iklim dan pola musim yang tak menentu memperparah kondisi air di daerah tersebut. Kekeringan yang berkepanjangan dan ketidakmampuan negara-negara Timur Tengah untuk merespons perubahan iklim telah memperburuk krisis air, mendorong negara-negara tersebut untuk bersaing memperebutkan sumber daya yang terbatas. Pandangan ini menekankan bagaimana keadaan lingkungan bisa memperburuk konflik yang telah ada.
Selain dampak lingkungan, narasumber juga menekankan aspek sosial dari konflik air, khususnya yang berkaitan dengan konflik Israel-Palestina. Konflik ini tidak hanya meningkatkan ketegangan politik, tetapi juga menghambat akses terhadap air bersih, terutama bagi para pengungsi yang melarikan diri dari daerah yang bermasalah. Narasumber mencatat bahwa jumlah pengungsi yang meningkat membuat kebutuhan air bertambah, sedangkan ketersediaan sumber daya tetap terbatas, sehingga memperburuk situasi bagi semua pihak yang terlibat. Hal ini memberikan wawasan yang lebih mendalam mengenai bagaimana konflik politik bisa memperparah krisis sumber daya.
Artikel itu juga menguraikan langkah kolaborasi antarnegara lewat inisiatif seperti "Petersberg Declaration" yang bertujuan menciptakan dasar kerja sama antarnegara dalam pengelolaan sumber daya air. Deklarasi ini menyoroti signifikansi visi kolektif dan komitmen politik dalam mengelola sumber daya air dengan adil dan efisien. Ini menunjukkan pemahaman tentang pentingnya solusi bersama untuk mencegah konflik yang lebih besar di masa mendatang. Namun, hambatan dalam pelaksanaan kerjasama semacam itu masih ada, khususnya di wilayah yang mengalami konflik berkepanjangan.
Dalam wawancara, narasumber menawarkan solusi berjangka panjang yang melibatkan inovasi teknologi seperti rekayasa hujan dan pengembangan infrastruktur penyimpanan air yang lebih efektif. Saran ini menekankan betapa pentingnya pendekatan yang proaktif dan berbasis ilmiah dalam menangani permasalahan air, khususnya di daerah yang mengalami tantangan serius dalam hal sumber daya air. Narasumber juga menyatakan peranan vital NGO (Non-governmental Organization) dalam membantu pemerintah mencari solusi yang saling menguntungkan, menekankan pentingnya kolaborasi antar berbagai pemangku kepentingan.
Dengan mencermati perspektif dari artikel dan wawancara, tampak bahwa walaupun tantangan yang dihadapi cukup signifikan, terdapat kesempatan untuk mengubah konflik menjadi kolaborasi. Kesadaran tentang perlunya pengelolaan air yang berkelanjutan dan adil harus terus dikembangkan, dengan melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, serta organisasi internasional. Langkah ini, apabila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, bisa membantu mengurangi ketegangan dan membangun stabilitas di wilayah yang sangat bergantung pada sumber daya air untuk kelangsungan hidupnya.
Artikel ini menekankan bahwa konflik air di Timur Tengah dan Afrika merupakan wujud dari tantangan yang lebih luas terkait pengelolaan sumber daya alam yang terbatas. Seperti yang dijelaskan dalam artikel, air di kawasan ini bukan hanya kebutuhan mendasar, tetapi juga sarana politik yang dapat dimanfaatkan untuk menekan negara lain. Saat sumber daya air menjadi terbatas, persaingan untuk menguasai sumber daya ini dapat memicu ketegangan antara negara-negara, yang seringkali berakhir dengan konflik bersenjata atau diplomasi yang tegang. Oleh karena itu, sangat penting bagi negara-negara di wilayah ini untuk memandang air bukan sekadar sebagai barang perdagangan, tetapi juga sebagai elemen penting dari stabilitas daerah.