Di bulan Februari tahun ini, telah diterbitkan artikel di jurnal internasional bereputasi Scientometrics yang dihasilkan oleh Vit Machacek dan Martin Srholec yang merupakan akademisi dari Republik Ceko. Artikel yang dihasilkan begitu menarik karena kedua peneliti ini mempelajari penerbitan artikel ilmiah yang dilakukan di jurnal terindeks Scopus yang dikatergorikan sebagai jurnal predator di berbagai negara.
Dari istilahnya predator sudah menandakan masalah yang ada dari kategori jurnal ini. Setiap jurnal yang dikategorikan predator diberikan bagi jurnal yang melakukan publikasi asal-asalan tanpa adanya peer review.
Ataupun, jika ada maka hanya dilakukan ala kadarnya dan dipastikan bahwa semua artikel yang disubmit pasti terbit dengan syarat membayar biaya publikasi. Biaya publikasi yang diberikanpun biasanya tidak murah. Mulai dari beberapa ratus dollar sampai ribuan dollar per artikelnya.
Yang mengejutkan sekaligus memprihantinkan dari hasil penelitian Machacek dan Srholec adalah status Indonesia yang berada di peringkat kedua tertinggi sebagai negara dengan publikasi di jurnal predator terindeks Scopus. Lantas, apa yang menjadi penyebab buruknya kualitas publikasi peneliti dan dosen-dosen di Indonesia di jurnal internasional terindeks Scopus?
Akar masalah Â
Pemerintah Indonesia sadar bahwa publikasi dosen dan peneliti Indonesia di jurnal internasional terindeks Scopus sangatlah penting karena akan meningkatkan mutu penelitian dan pendidikan di Indonesia sekaligus meningkatkan peringkat lembaga pendidikan tinggi di Indonesia di level internasional.
Untuk itu, melalui Pedoman Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Akademik/Pangkat Dosen KEMENRISTEKDIKTI, pemerintah Indonesia mewajibkan dosen berkualifikasi S2 untuk minimal harus mempunyai publikasi di jurnal internasional ketika ingin mengajukan jabatan fungsional Lektor Kepala dan untuk kenaikan ke jabatan fungsional Profesor harus memiliki publikasi di jurnal internasional bereputasi.
Selain itu, menurut PERMENRISTEKDIKTI No. 20 Tahun 2017, terdapat kewajiban yang harus dilaksanakan dosen penerima tunjangan profesi dengan jabatan fungsional Lektor Kepala dan Profesor.Â
Setiap dosen dengan jabatan fungsional Lektor Kepala wajib menghasilkan paling sedikit 3 artikel di jurnal nasional terakreditasi atau 1 karya ilmiah di jurnal internasional, atau paten, karya seni monumental/desain monumental dalam waktu 3 tahun.
Sementara itu, seorang Profesor penerima tunjangan kehormatan Profesor harus memiliki 3 publikasi artikel di jurnal internasioal atau 1 artikel di jurnal internasional bereputasi, atau paten, karya seni monumental/desain monumental dalam waktu 3 tahun.
Selain kewajiban yang ditetapkan pemerintah, terdapat juga insentif publikasi yang diberikan pemerintah ditahun-tahun sebelumnya ketika dosen berhasil melakukan publikasi di jurnal internasional bereputasi. Insentif ini juga diberikan oleh universitas-unviersitas besar di Indonesia sampai saat ini untuk dosennya agar dapat mendorong kuantitas publikasi dosen.
Setiap kewajiban publikasi dan insentif diatas sebenarnya merupakan hal yang sangat baik agar dosen tidak hanya mengajar tapi juga aktif dalam melakukan publikasi yang dapat bermanfaat bagi masyakat luas termasuk di level internasional. Sayangnya, budaya riset dan meneliti di Indonesia masih harus diperbaiki dan ditingkatkan dengan lebih baik.
Hal ini terlihat dari kebiasaan dosen yang cenderung memilih jalan pintas dengan melakukan publikasi di jurnal internasional terindeks Scopus yang dikategorikan predator dan rela membayar mahal hanya untuk dapat memenuhi kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai dosen.
Salah satu alasan munculnya kebiasaan ini dikarenakan oleh masih terdapatnya dosen yang belum percaya diri dalam kemampuan menulis menggunakan Bahasa Inggris.Â
Bahkan ada yang belum percaya diri untuk menulis artikel di jurnal nasional terakreditasi. Tidak hanya itu, bisa dilihat bahwa menulis di media massa nasional juga belum sepenuhnya dilakukan oleh mayoritas dosen di Indonesia.
Hal ini berbeda dengan tanggung jawab yang seharusnya dilakukan sebagai dosen dimana seorang dosen harusnya menikmati menulis selain melakukan pengajaran dan melaksanakan pengabdian kepada masyarakat.
Opsi solusi
Salah satu solusi untuk meningkatkan kebiasaan menulis dosen adalah dengan membentuk kebiasaan menulis bahkan ketika dosen tersebut masih berstatus sebagai mahasiswa.Â
Tapi, masih ada perguruan tinggi penyelenggara pasca sarjana di Indonesia yang belum mewajibkan mahasiwa S2 dan S3 untuk memiliki publikasi di jurnal nasional terakreditasi ataupun jurnal internasional.
Selain itu, seharusnya pemerintah lebih giat dalam membantu meningkatkan jumlah pelatihan-pelatihan penulisan karya ilmiah berkualitas yang sebenarnya dibutuhkan oleh dosen-dosen kita.Â
Kekurangan pelatihan penulisan karya ilmiah terlihat nyata di lapangan begitu juga dengan peningkatan kemampuan dosen dalam menulis menggunakan Bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa paling populer yang digunakan dalam publikasi jurnal internasional.
Harapan kedepanÂ
Kita tentunya berharap agar Indonesia bisa berada di peringkat 2 dunia bukan sebagai negara dengan sumbangan publikasi di jurnal predator terindeks Scopus tapi sebagai negara dengan publikasi terbanyak di jurnal internasional bereputasi.Â
Untuk itu, semoga budaya menulis dosen dan peneliti di Indonesia dapat terus ditingkatkan bahkan dimulai dari generasi muda yang saat ini masih berstatus sebagai mahasiswa.
Salam,
JD
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H