Harga selembar kain batik tulis senilai Rp 30 juta memang terlampau mahal. Tapi ini tak berlaku untuk batik madura bernilai karya seni.
Dalam gelaran Trade Expo Indonesia (TEI) ke-34 beberapa waktu lalu, saya mampir ke sebuah booth Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) bernama "Batik Al-Warits". Pemiliknya adalah perempuan muda asal Kabupaten Bangkalan, Madura.
Sambil berbincang dan membolak-balik lembaran batik tulis yang dipajang di pameran ini, ada satu kain yang menarik perhatian saya, yaitu batik aromaterapi.
Warisatul Hasanah (30), perempuan asal Kecamatan Klampis ini mengatakan batik tulis buatannya punya aroma khas.
"Aromanya bikin efek menenangkan, kaya unsur rempah yang bikin aromanya khas," kata Waris yang memulai bisnis hanya bermodal KTP.
Saya pun menyesap dalam-dalam untuk menikmati aroma sedap batik tulis ini. Sepakat dengan yang dibilang Waris, batik tulis ini wangi menyegarkan.
Pertanyaan pun segera berkelindan.
"Memangnya ini wanginya bisa tahan berapa lama mbak? Terus, apa yang bikin aromanya bisa tahan bertahun-tahun dan harganya sampai semahal ini?" tanya saya.
Waris memang sosok pedagang yang telaten. Beruntung, dengan pertanyaan yang bertubi-tubi itu saya tak didepak dari booth miliknya yang ramai pengunjung ini.
"Ini bisa tahan sampai empat tahun mas. Ada ceritanya kenapa akhirnya saya bikin batik aromaterapi. Awalnya nggak kepikiran sama sekali," jelasnya dengan logat madura yang kental.
"Orang Australia itu sangat memperhatikan kualitas bahan, sampai soal higienitas kain batik yang akan mereka terima. Sejak itu saya berpikir gimana caranya supaya mereka bisa menerima produk batik saya ini," terangnya.
Sambil memikirkan solusi, Waris menerima usulan sejumlah rekannya untuk memadukan sejumlah bahan-bahan alam untuk membuat aroma terapi kain batik tulis miliknya.
Namun tak semudah dibayangkan, lulusan Perbanas Surabaya ini membutuhkan waktu satu tahun untuk melakukan riset otodidak.
Uji coba yang dilakukannya berkali-kali akhirnya membuahkan hasil. Ia pun menemukan komposisi yang tepat untuk membuat aroma yang bisa diterima pasar Australia.
"Komposisinya terdiri dari kayu gaharu, kayu cendana, dan gabungan tiga  jenis bunga yaitu mawar, melati, dan cempaka," jelasnya.
"Oh ya, cengkih juga mas," imbuhnya.
Bukan tanpa alasan waris membanderol kain batik tulis ini dengan harga selangit.
Lamanya proses produksi, terbatasnya bahan baku, dan nilai seni dari setiap corak menjadi faktor yang ia pertimbangkan dalam menentukan harga jual.
"Mahal, karena proses pembuatannya membutuhkan waktu sampai enam bulan mas," ungkapnya. Â
Batik tulis aromaterapi biasa ia jual mulai Rp 750 ribu. Sedangkan batik tanpa aromaterapi dijual dengan range harga  Rp 100 ribu hingga Rp 5 juta.
"Selain lama dalam pembuatan motif, batik ini juga harus direbus, dikukus sampai airnya mengering, hingga diratus agar wanginya awet," jelasnya.
Dengan proses pengulangan selama enam bulan itu, kain batik aromaterapi tersebut mampu bertahan selama bertahun-tahun.
"Semakin lama proses pembuatannya, aromanya semakin kuat dan semakin tahan lama. Dan pastinya harganya juga akan disesuaikan," kata Waris.
Setelah berhasil menerapkan ide tersebut, akhirnya Waris bisa merajut kembali pasar ekspor di Australia.
Tak cukup di situ, batik-batik miliknya kini sukses melenggang di pasar ekspor Malaysia, Singapura, Korea Selatan, hingga Amerika Serikat (AS).
Waris pun berterima kasih pada pemerintah melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Exim Bank, akhirnya bisa menembus pasar AS.
Ia mengatakan, pihaknya menerima bimbingan dan dukungan teknis dari LPEI yang rela "jemput bola" ke daereah-daerah untuk menjangkau para pelaku UMKM dan mendorong produk lokal untuk go global.
"Saya berterima kasih pada LPEI yang jemput bola datang langsung ke rumah saya di Klampis, Bangkalan, dan mendorong saya untuk mencoba pasar ekspor ke Amerika Serikat," kata Waris.
Perlu diketahui, hingga saat ini ada tujuh kelompok pengrajin batik tulis yang telah dibentuk oleh Waris.
Dalam waktu dekat kelompok tersebut berkembang lagi menjadi 11 kelompok yang tersebar di Kecamatan Klampis dan Kecamatan Tanjung Bumi di  Kabupaten Bangkalan dengan total lebih dari 200 pengrajin, baik wanita maupun pria.
"Ayok mas kalau pas mudik ke Tanjung Bumi mampir ke rumah saya dan lihat kelompok pengrajin lokal di sana," ajak Waris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H