Bapakku galak. Dan mungkin lecutan kata-katanya lebih "tajam" dari ucapan Koh Ahok. Dengar deheman suara batuknya saja mampu membuatku terbirit-birit meninggalkan tegalan, tempatku bermain dan sepeda-an.
Entah hantu alas mana yang menyelinap dalam perangainya. Pernah pada segmen ‘paksaan’ tidur siang, mata hanya pura-pura terpejam hingga situasi aman untuk mindik-mindik dan buka pintu perlahan agar tak berderit, hanya untuk menyaksikan konco-konco yang riang main petak umpet.
Tertangkap basah. Akibatnya pun tak tanggung-tanggung. Â Telapak tangannya yang kaku siap menyapa hingga pipi merah tanpa hirau sengguk tangis. Sudah biasa, makanan sehari-hari dengan lauk pauk makian yang singgah memahitkan hati.
Salah satu kesempatan yang hingga kini tak terlupakan, saat bapak pergi mancing di kali. "Aman, bisa sepedaan bareng teman-teman," pikirku sore itu untuk puaskan hasrat untuk bermain.
Baru dua putaran keliling komplek perumahan, deheman batuknya yang khas  sudah jauh terdengar. Kupancal onthelku kencang-kencang pulang ke rumah. Pas di tikungan, bapak yang ku kira suaranya masih jauh terdengar, malah berpapasan denganku dan njungkel nabrak onthelnya saking kaget dan takut.
Bisa ditebak khan adegan berikutnya? Digiring pulang ke rumah sambil meringis kecut seperti maling ayam.
"Dholanan ini gak boleh, main itu gak boleh," gerutuku sambil ndelik di bawah pohon mangga belakang rumah. Tangisan bocah pun tumpah tertahan. Hingga kemudian rencana cupu itu pun sempat muncul, untuk kabur dan nyangklong tas hendak nyebrang ke Tanjung Perak. Akumulasi pahit adegan-adegan pukulan, beserta ragam serangan verbal yang tak mengenakkan, amat sulit dipahami bocah SD yang lahir post-mature.
***
Barangkali, pengalaman kecut ini yang membuatku tertarik mengambil mata kuliah Psikologi Sosial, dan supporting course Tumbuh Kembang Manusia dari Departemen sebelah (Dept. Ilmu Keluarga dan Konsumen). Alih-alih untuk mencari tahu secara kompleks sebab karakterku yang submisif dan plegmatis yang mengganjal diri yang terus beranjak. Bentuk kepribadian yang hingga kini amat tak mengenakkan.
Tanda tanya dan keganjilan kepribadian ini akhirnya sedikit terjawab, meski tak tuntas. Pola asuh dan minimnya sosok ayah sebagai pondasi gambar diri anak, menjadi benang merah penyebab sebagai bocah kaku dan tak supel. Darurat ayah yang tak terhindar.