[caption caption="Kolom Konsultasi Kompas berjudul "Mempersiapkan Kematian" (Dokumen pribadi)"][/caption]“Rest in peace dek Senna… Semoga keluarga yang ditinggalkan selalu diberi kekuatan dan penghiburan dari Tuhan…”
Begitulah penggalan ucapan bela sungkawa yang disampaikan Helena Ayu Permata Hati di laman facebooknya.
Beberapa hari ini banyak kabar duka yang saya terima yang mengajak saya untuk berefleksi dan merenungkan makna kematian.
Mulai dari peristiwa tewasnya 18 penumpang Metro Mini akibat menumpang bus yang pengemudinya memaksa menerobos palang kereta api di kawasan Angke Jakarta Barat, hingga kabar duka pagi ini, Sena Desvia Hutapea menghembuskan nafas terakhir akibat Hepatitis yang dideritanya.
Kepergian mahasiswi Fakultas Kehutanan IPB yang akan memasuki semester akhir ini meninggalkan duka yang mendalam bagi kami kerabat dekatnya di lingkungan kampus tersebut.
***
Sore ini (Selasa, 8/12), sambil menunggu hujan yang turun, saya menyempatkan lagi membuka Harian Kompas Edisi Minggu, 6 Desember 2015. Alih-alih mencari kolom Cerpen, mata saya justru tertuju pada kolom Konsultasi dengan judul yang memikat mata: “Mempersiapkan Kematian.”
Lengkap sudah. Saya merasa seperti menjalani sebuah skenario untuk diajak merenungi salah satu segmen kehidupan yang tabu untuk dibicarakan ini.
[caption caption="Display picture Tunggul Edward Sitorus sebagai ungkapan bela sungkawa kepergian Sena (Dokumen pribadi)"]
Berita tewasnya penumpang metro mini mengajak imajinasi saya untuk berpikir, betapa kematian tidak dapat diperkirakan kedatangan maupun caranya. Pun dengan kepergian Sena yang tergolong cepat di usianya yang masih muda, bahwa kematian menghampiri tanpa kompromi dengan waktu.
Namun di balik peristiwa duka yang silih berganti menghampiri ini, seolah ditutup dengan jahitan yang rapi dengan membaca judul dan isi kolom Kompas tersebut. Bahwa kematian adalah suatu kepastian. Pertanyaannya, sudah siapkah saya?
Sebagaimana dikutip kolom Kompas tersebut, Judy Tatelbaum, pekerja sosial bidang psikiatri ini mengajak untuk tidak menyangkal kematian (sebagai sesuatu yang pasti). Tanpa takut pada kematian, kita dapat hidup dengan lebih semangat dan dapat mengambil lebih banyak kesempatan dan berani mengambil risiko.
Dengan kesiapan psikologis terhadap kematian pula kita dapat memilih membangun hubungan yang lebih dekat dengan orang lain, khususnya dengan orang-orang yang mengasihi kita.
Membaca dan mengunyah pelan-pelan kabar demi kabar duka yang ada, mengajak saya untuk menerima gagasan bahwa hidup ini singkat. Bahwa "Urip mung mampir ngombe ning ndunyo." Dan selalu siap untuk menerima dan mengembangkan kesempatan hidup yang hari ini masih diperkenankan untuk kita jalani. (KOB)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H