Mengetahui penjelasan ini saya menjadi sedikit paham, bahwa pembunuh nomor wahid rekan penderita penyakit ini ialah merosotnya semangat hidup dan gambar dirinya.
Tentu merosotnya semangat hidup itu dipengaruhi oleh cara pandang si penderita terhadap dirinya serta lemahnya kemampuan menghadapi ketakutannya akan penilaian masyarakat.
“Ya karena takut dikucilkan. Banyak teman-teman yang memilih tak berobat dan berdiam diri di rumah karena takut,” ujar Mbak Min dalam salah satu segmen wawancara dengan stasiun televisi yang memuat dukungan Mbak Min terhadap penutupan lokalisasi Doli di Surabaya, beberapa saat lalu.
Sosialisasi Kesehatan dan Meminimalisir Stigma di Level Petani
Meski kontribusi pemerintah daerah dalam upaya penanggulangan AIDS masih terbatas, menurut data Center for Health Policy and Management (CHPM) Fakultas Kedokteran UGM, yakni sekitar 14 % pada tahun 2014, menurut hemat saya sudah cukup baik.
Jika dicermati lebih lanjut dari cerita yang disampaikan Lik Mar, bahwa sosialisasi kesehatan, khususnya terkait cara penanggulangan dan mengenali gejala awal penyakit ini, sudah dilakukan oleh dinas kesehatan setempat bahkan hingga ke aras petani.
Tak hanya itu, upaya pemerintah untuk memberikan pemahaman dan meminimalisir stigma terhadap masyarakat sudah dilakoni sebagaimana diakui Lik Mar dan kawan-kawannya yang mendapat arahan langsung di tengah kesibukannya sebagai buruh tani.
Hal ini dirasa penting, mengingat gaya hidup masyarakat pedesaan yang masih guyub dan sering ngumpul bersama untuk sekedar ngopi dan berbagi cerita, menjadi sarana yang cukup efektif untuk menanggulangi stigma.
Apabila keguyuban ini pada waktu mendatang berevolusi menjadi sarana untuk memberikan motivasi dan membangun kepekaan sosial bagi para penderita penyakit ini (dengan cara memberikan dukungan semangat dan menerima kondisi pasien), kualitas hidup mereka tentu dapat menjadi lebih baik dan berpengharapan.