Rupanya, di desa yang kini tengah berada di jaman modern, masih berlaku cerita yang bernada menyudutkan.
Rumpian ala ibu-ibu itu masih kental di sana, meski dilakukan secara diam-diam.
Hal itu masih wajar menurut saya. Meski cerita yang dituturkan terdengar memilukan, kegiatan ibu-ibu itu menandakan masih terpeliharanya budaya guyub.
[caption caption="GKJW, salah satu ikon di Desa Peniwen, Malang (Sumber:revivalentine.blogspot.com)"]
Saya menduga, pemuda yang dikabarkan meninggal yang katanya akibat HIV itu, bukan semata-mata efek primer yang ditimbulkan.
Bukan pula karena timbulnya toksoplasma atau pun gejala sekunder lainnya, melainkan karena kurangnya pemahaman masyarakat bagaimana menindak gejala awal penyakit ini.
Penyakit yang sudah umum menjadi ‘momok’ ini kian menakutkan bagi penderitanya. Sistem imunitasnya yang semakin merosot bukan semata karena tak giat menjalani terapi antiretroviral, tetapi juga tersudut dan terhasut oleh stigma.
Untuk sebagian ODHA, bukan vonis penyakit itu saja yang membuat terpukul. Melainkan direnggut ketakutan akan stigma yang merajam dan terlihat kejam.
Hal ini pula lah yang menyebabkan penderita tak lagi muncul di masyarakat, ketakutan yang hebat akan penghakiman ala manusia.
Menurut mbak Min, mantan pekerja seks yang kini giat dalam KDS (Kelompok Dukungan Sebaya) yang kerap memberikan sosialisasi dan dukungan pasien di RSUD dr. Soetomo menuturkan, pembunuh nomor satu bukan lah si HIV itu sendiri. Melainkan stigma pribadi dan masyarakat yang membuat si penderita kian terpukul dan emosional secara psikologis.
Akibatnya, daya tahan tubuh yang sudah berada pada batas minimal itu semakin menurun.