Mohon tunggu...
YAKOB ARFIN
YAKOB ARFIN Mohon Tunggu... Buruh - GOD LOVES TO USE WHO ARE WILLING, NOT NECESSARILY THE CAPABLE

Addicted by Simon Reeve which experts conflict resolution documentary with his journey around the Carribean

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Sepatu "Ajaib" dan Doa Sederhana

3 Agustus 2015   12:42 Diperbarui: 3 Agustus 2015   13:54 1932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya teringat bagaimana Tuhan meresponi ungkapan dan keinginan saya yang amat sederhana. Itu pun hanya saya nyatakan dalam obrolan ringan dengan-Nya sambil menali simpul tali sepatu saya yang mulai koyak di sana-sini.

Ketika itu saya akan berangkat ke kampus. Sembari duduk di depan pintu kosan dengan asik menyusun simpul tali sepatu untuk bersiap ke ‘sekolah’, saya membuka obrolan dengan Tuhan.

“Tuhan, lihat deh sepatuku. Wis bolong-bolong di bagian bawah. Kulitnya wis ngelupas. Kalo hujan turun nanti aku pakai apa buat ke kampus, masa pake sandal?” begitu kira-kira saya berucap seolah ngobrol dengan seorang sahabat.

Memang, beberapa waktu terakhir saat hujan mulai rajin mengguyur Bogor, saya menaruh rasa kuatir soal sepatu. Pun demikian dua pasang sepatu yang saya punya mulai uzur bersamaan.

Menimba ilmu di Kota Hujan salah satu konsekuensinya memang harus siap berhadapan dengan hujan. Saat hujan mulai turun bertepatan dengan jam kuliah, dengan semangat saya mengenakan sandal jepit, mengemasi sepatu dalam kantung kresek dan memasukkannya ke dalam tas dan segera berlari ke kampus (catatan: setiba di kampus langsung cuci kaki dan mengenakan sepatu).

Tujuannya hanya satu, yakni untuk melindungi sepatu  "tersayang" ini agar tidak basah. Karena bila basah akibat rembesan hujan, perlu waktu berhari-hari untuk bisa mengeringkannya secara manual di bawah matahari.

Maklum, cuaca di Bogor sering tak bisa diprediksi. Pagi cerah menawan, lalu siang hari mendadak bergulat mendung diikuti hujan lebat.

Dengan kondisi sepatu-sepatu yang mulai susut itu, selalu ada rasa kuatir ketika hujan turun, karena dalam waktu beberapa detik kaos kaki ku mulai basah, terasa seperti ada sesuatu yang mulai banjir dan mengalir. 

Terkadang ada rasa malu, pergi kemana-mana dengan sepatu kumal, bahkan untuk pergi ke gereja. Melewati etalase hanya berdecak harap, memandang terkesima sambil berimajinasi.

Satu minggu berlalu, Rabu, 8 Desember 2010, dalam perjalanan pulang praktikum mata kuliah Metode Penelitian Survai,  saya menyusuri koridor Fakultas Ekonomi. Entah ada angin apa tiba-tiba teman seperjalanan pulang praktikum itu tiba-tiba berkata, “Fin, kaki lo ukuran berapa?”

Saya menganggap pertanyaan itu sebagai ledekan “Haha, ngeledek ya, mentang-mentang gue kecil pendek dan kaki gue juga kecil.”

Ia pun menimpali, “Serius gue, lo mau sepatu ga, gue ada sepatu tapi ga muat. Sebenernya punya adek gue si, masih baru kok, cuma pas dicoba kagak muat dan ga kepake deh, eh, tiba-tiba gue inget lo, siapa tahu si Arfin muat” katanya meyakinkan saya.

”Yakin lo??” jawab saya melonjak girang. “Beneran Arfiiin,” jawabnya serius.

“Kalo gitu besok pas praktikum Agraria dibawa ya” begitu saya mewanti-wanti dia.

Sambil jalan menuju kostan, saya senyam-senyum sendiri, heran dan tak percaya, nyata atau tidak, dan bertanya-tanya “inikah jawaban doa-Mu Tuhan? Bila memang iya, aku tak pernah menduga Engkau melakukan dengan cara ini. Sama sekali tak pernah terlintas di pikiranku.  Engkau memakai temanku untuk memberkatiku.”

Saya terheran-heran tak percaya, bahwa cara Tuhan sungguh unik dan kreatif. Bukan semata-mata karena saya akan memiliki sepatu baru, tetapi melihat cara-Nya yang ajaib dan unik, yang tak pernah terbayangkan dalam benak saya.

Melalui obrolan santai dengan-Nya yang tak dikemas dalam posisi berdoa yang lazim (berdiam diri di ruang sepi, tutup mata lipat tangan).

Sejak itu saya semakin yakin bahwa Tuhan itu maha mendengar. Bahkan lewat ungkapan-ungkapan yang sederhana sekalipun. Tanpa batas ruang, waktu dan liturgi.

Ia melihat hati. Dan Ia lebih jauh melihat apa yang saya perlukan, bahkan sebelum saya menyatakan harap dan kebutuhan.

Thanks God.

---

Ilustrasi - sketsasore.wordpress.com 

 *Tulisan ini saya sarikan kembali dari catatan pribadi yang dituangkan pada 17 December 2010 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun