Mohon tunggu...
YAKOB ARFIN
YAKOB ARFIN Mohon Tunggu... Buruh - GOD LOVES TO USE WHO ARE WILLING, NOT NECESSARILY THE CAPABLE

Addicted by Simon Reeve which experts conflict resolution documentary with his journey around the Carribean

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jambi, Sarat Konflik nan Eksotis

26 Februari 2015   22:34 Diperbarui: 3 Maret 2016   16:53 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

 

[caption id="attachment_353073" align="aligncenter" width="606" caption="Hamparan Sawit di Desa Bungku, Jambi (Dokpri)"][/caption]

Second Chance to Migrate

 

 

 

 

Dulu, saya hobi nonton acara di TV7 (sekarang Trans 7) yang bertajuk “Jejak Petualang” yang dipresenteri Riyani Djangkaru. Perjalanan ke pelosok daerah menggunakan mobil offroad melewati jalan yang becek dan berbatu, kemudian singgah di komunitas masyarakat adat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Di sana, Riyani me-recall kepada pemirsanya tentang budaya dan sifat alami daerah yang ia kunjungi, sembari makan hidangan yang disuguhi masyarakat seperti ulat sagu atau sekedar mencicipi tanaman hutan yang ia temukan di tengah perjalanan.

Kesempatan seperti itu sempat saya tunggu dan bermimpi mengecap karir seperti itu. Ada tantangan serta kesanggupan untuk beradaptasi di daerah yang terbatas; bebas melanglang negeri dan tidak bekerja statis di kantor yang sarat dengan keruwetan Jakarta. Bekerja di sektor formal (jurnalis media nasional)  yang nampak menjadi aktivitas informal melalui pengalaman yang kaya akan wawasan baru.

Tidak seperti Riyani memang, tetapi sedikitnya saya mulai merasakan pengalaman itu. Jambi, ya,  propinsi pertama di Sumatera yang saya jajaki enam bulan kemudian usai lulus kuliah.

Tiba di Bandara Sultan Thaha, Jambi, pukul 13.20 WIB. Waktu yang sedang menunjukkan puncak teriknya matahari. Di halaman ruang kedatangan bandara, saya disambut dua orang mahasiswa Universitas Jambi yang sudah menghubungi saya beberapa hari sebelumnya untuk mengantarkan saya ke Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batang Hari.

Xenia hitam sudah terparkir di halaman bandara dan siap mengantarkan saya ke desa yang cukup ramai dibicarakan para akademisi dalam dan luar negeri, para penggiat masyarakat serta otorita kekuasaan yang duduk di level kementerian sampai pada kabupaten.

Bungku, ramainya tidak hanya pada tataran halaman muka media maya, tetapi juga sampai pada suara-suara konseptualisasi para peneliti yang tertuang dalam berbagai paper dan publikasi ilmiah lainnya.

Dalam perjalanan yang menempuh waktu 3 jam, saya membiarkan diri terheran dengan pemandangan salah satu kota di Sumatera ini. Mencoba membandingkan dengan daerah asal saya di Madura yang sama teriknya, mengkonfirmasi pemandangan rumah-rumah kayu dan banyaknya tanaman sawit yang selama ini hanya saya jumpai dalam naskah bacaan, dan tentunya memuaskan mata yang takjub melihat hutan yang mulai gundul di kanan kiri jalan, dan kebun-kebun karet.

Saya belum pernah melihat pemandangan seperti ini sebelumnya. Melewati  jalan raya yang kondisinya rusak justru membuat sukacita saya semakin membuncah, karena itu adalah pertanda bahwa saya semakin dekat dengan area kehidupan yang mencoba lepas dari keterbatasan, yang kini sedang saya tuju. Menemukan aspal yang berlubang cukup  dalam di sana sini, memasuki jalan bertanah yang sesekali bergundukan oleh bekas ban truk pengangkut sawit yang melintas.

Tiba di Desa Bugku pukul 16.30 WIB. Disambut kak Rai Sita, mahasiswa Pasca Sarjana Sosiologi Pedesaan  IPB yang hampir satu bulan berada di desa ini. Beristirahat di rumah pak kades dan kemudian melanjutkan ke rumah salah satu tokoh migran etnis sunda yang terkenal di desa ini yang akrab dipanggil Mang Kiwa. Di rumah beliaulah saya tinggal selama tiga minggu  ke depan.

Ternyata rumah-rumah di sini (di sekitar kawasan dan kebun sawit) cukup bagus dan permanen. Saya menduga ini adalah rumah pendatang yang telah berhasil babat alas sejak tahun 70-an. Namun rumah-rumah di sekitarnya masih terbuat dari papan.

[caption id="attachment_353069" align="aligncenter" width="554" caption="Rumah Suku Anak Dalam di tegah kebun sawit (Dokpri)"]

14249376571535553531
14249376571535553531
[/caption]Ada hal menarik di sini, yang acapkali disebut oleh orang kota dengan istilah keterbatasan infrastruktur. Mungkin bagi pemukim kota, situasi ini cukup sulit karena sudah terbiasa hidup nyaman, tetapi bagi saya seperti ada yang menyeruak dari dalam diri, yaitu tantangan.

Saya sebut tantangan karena, kondisi semacam ini jarang saya temukan sehingga membuat saya antusias untuk segera terlarut di dalamnya, kemudian apakah saya sanggup tanpa berkeluh kesah tinggal di kawasan yang katanya “terpencil” ini? Pertanyaan ini akan segera teruji di tengah masyarakat yang eksotis.

Di sinilah saya kembali retreat, mengundurkan diri sejenak dari kota Bogor yang gerah oleh ulahnya sendiri. Hidup seperti orang jaman dulu yang tanpa handphone dan mini market pun tetap bisa hidup dan merasa cukup. Beberapa puluh hari ke depan saya akan dipagari oleh minimnya sinyal (sehingga akan jarang sms dan menelepon, tidak bisa internetan untuk mengupdate status di media sosial), minimnya penerangan (hanya ada listrik pada pukul 18.00 sampai habisnya bensin mesin diesel pada pukul 23.00 yang dipakai warga untuk menerangi rumahnya untuk beberapa jam), jalan desa yang masih tanah liat yang menjadi becek bila turun hujan, desa yang panjang dari ujungnya yang satu ke ujung lainnya, dimana kata aparat desa jaraknya lebih dari 80 kilo meter, mandi dengan air yang keruh (beresiko gatal-gatal dan sebagainya).

Ya, inilah atmosfer hidup saya yang baru. Bukan di kota, tetapi di sebuah desa, Desa Bungku.

 

Meraba konflik  yang carut marut

Saya ditugasi untuk mengumpulkan informasi mengenai dinamika kependudukan dan agraria di desa ini. Dapat dikatakan bahwa migran yang ada di desa ini datang untuk mengadu nasib untuk memperoleh hidup yang lebih baik dari pada di daerah asalnya. Terutama jawa, penduduk asal pulau ini cukup berkontribusi besar sebagai pendatang.

Kepadatan penduduk yang memuncak – dengan sendirinya membuat warganya mengeksklusi diri ke tempat lain yang lebih renggang untuk lebih dari sekedar bernafas dan mencari nafkah. Bukan hanya dari Jawa, warga dari kota lain di Pulau Sumatera yang juga kian padat penduduknya pun turut turun ke bagian tengan pulau ini.

Migran beretnis Batak, Minang, Kerinci, Melayu Palembang bahkan trans asal Lampung pun turut berbondong-bondong ke desa ini, dengan maskud yang sama. Maka berbaurlah mereka menjadi satu komunitas dan masyarakat Bungku yang ragam.

Dalam keragaman pendatang ini terdapat kehidupan asli, yang menyisih, bahkan tersisih dari rimbanya yang tak lagi rimba, dan “memaksa diri” menjadi jati diri lain untuk serupa dengan masyarakat pedatang yang berkonotasi modern.

Suku Anak Dalam (SAD) adalah suku asli yang cara hidupnya masih membudayakan cara hidup leluhurnya, tetapi ini pun tidak mudah dijumpai di desa ini. Dengan hitung jari masih dapat ditemukan, namun sudah tidak seadat seperti dulu.

Tidak cukup wawasan yang terukur untuk dapat melihat situasi di desa ini, apalagi untuk mengerucutkannya menjadi salah satu bakal isi ilmu sosial yang terus mengikuti perubahan.

 

Aktor-aktor

Bauran kepentingan ekonomi, politik dan racaunya kepentingan lain – memuarakan desa ini pada suasana konflik. Tampak pelik. Entah dari mana untuk mulai menceritakannya, namun dapat dicermarti dari kilas pandang subyektif yang dapat dijadikan pijakan, yakni; adanya suatu kelompok masyarakat yang terpinggirkan oleh kekuasaan dan masyarakat lain. Kerangka berpikir saya dalam melihat situasi di desa ini adalah sebagai berikut:

Jambi merupakan salah satu propinsi yang memiliki sumberdaya hutan, dimana di dalamnya terdapat kelompok masyarakat adat yang hidup di dalam hutan. Hutan tidak hanya dijadikan sebagai “arena kecil” untuk bermasyarakat, tetapi juga sebagai sumber dan tempat sirkulasi kebutuhan hidup sehari-hari.

Mereka bergantung pada alam. Batas teritorial satu dengan yang lain masih ditandai secara alami sebagai patokan. Pohon durian, pohon pinang, atau garis anak sungai menjadi penanda batas teritorial maupun kawasan kekuasaan kelompok suku anak dalam. Kemudian beberapa dekade setelah kemerdekan, mulai ada pihak yang berkepentingan atas hutan di kawasan ini, di antaranya adalah:

1) Negara, yang diwakili kementerian kehutanan yang berotoritas untuk memelihara hutan dan mendayagunakannya sebagai miliki negara secara formal.

2) Kemudian ada juga pelaku agro-industri yang ingin bercocok tanam untuk menghasilkan produk bernilai ekonomis.

3) Dan ada juga masyarakat bagian lain dari Indonesia yang ingin masuk ke Jambi untuk mengadu nasibnya di hutan Jambi dan berupaya mendapatkan hak-nya sebagai warga negara untuk hidup sejahtera, lantaran di tanah kelahirannya tak lagi mudah mendapatkan lahan garapan.

Pihak-pihak inilah yang kemudian bergerak dan saling berinteraksi pada satu lanskap sumberdaya hutan di Jambi dengan membawa misinya masing-masing. Lantas, kawasan yang dahulu kala adalah rimbo bagi SAD, kini tak lagi rimbo.

Ada bagian hutan di Jambi yang tetap dipertahankan sebagai hutan oleh otoritas negara, tetapi dengan otoritas yang sama bagian hutan yang lain pun dialokasikan untuk kebutuhan industri berbasis agro yang bermuara pada kepentingan ekonomi agro untuk kancah global.

Persoalannya bukan terletak pada niatnya untuk memberi ruang kepada pelaku usaha, tetapi ada keberpihakan yang berlebihan pada pelaku ekonomi dari pada masyarakat asli yang tinggal di dalam hutan.

Hutan yang dahulu merupakan rumah bagi orang SAD, kini “diberikan” kepada perusahaan berbasis asing dengan konsesi hampir seabad untuk dikelola.

Dengan keadaan demikian, kemana mereka dapat menjalin atap perlindungan? Letak hidup dan tempat tinggalnya digantikan oleh pihak lain dan diubah bentuknya menjadi perkebunan (kelapa sawit, coklat, akasia, dsb). Inilah realita yang menurut Tania Murray Li, Derek Hall, dan Philip Hirsch sebagai masyarakat yang tereksklusi dalam bukunya yang berjudul Power of Exclusion.

Pertimbangan yang minim dalam penetasan kebijakan kehutanan oleh pemerintah mewujudkan ketidak adilan. Dalam perasaan yang terusir, mereka harus bersaing dengan pendatang-pendatang yang hilir mudik ke Jambi untuk mendapatkan lahan.

Dalam waktu yang sama mereka juga secara paksa hidup bergaya seperti para migran, padahal, hakekatnya mereka tak mampu secara instan mengadaptasikan gaya hidup yang dibawa oleh pendatang. Lahirnya ketidakseimbangan antar masyarakat dan pemain industri ini bermanifestasi pada ketegangan yang hingga kini mungkin belum tampak arah solusinya.

Politik sumberdaya bermain cukup deras di kawasan ini sehingga mengundang nafsu para ilmuwan untuk mengkaji lebih lanjut, baik ilmuwan dalam negeri maupun dari benua Eropa.

Meretas hikmah di tengah masyarakat

Lalu apa tugas saya? Sejauh ini saya hanya sebagai pengumpul data, pengais cerita dan pemimpi kecil di rantau Jambi. Terlepas dari hiruk pikuk tugas, di sini saya belajar tentang hidup. Menjadi pengamat – bahwa selain dan di luar kehidupan saya, ada kehidupan yang jauh lebih pelik, bahwa kehidupan di Bungku ini hanya salah satu contoh bentuk kehidupan yang sulit dari masyarakat kita.

Apakah ada sensivitas yang saya miliki usai melihat situasi di sini?

Kepekaan saya tidak diukur dari seberapa banyak saya berbincang dengan warga dan mendengarkan penuturan mereka. Tidak cukup terukur dari kemauan saya untuk mau mandi dengan air keruh yang biasa dipakai mandi oleh warga di desa ini; tidak diukur atas "puasa" saya dari akses internet; tidak diukur dari seberapa legamnya lengan dan wajah saya setelah menyisiri dusun di siang hari yang terik; tidak diukur dari keheranan saya akan betapa jauhnya desa ini dari kota dan jauhnya jarak dusun satu ke dusun yang lain; dan ukuran-ukuran lain yang membuat saya pamrih yang rapuh dan mengasihani diri berada dalam situasi yang terbatas yang mengikat di desa ini.

Gemblengan untuk makin melenting, desakan untuk makin melesat, pukulan untuk semakin memantul dan tak pecah oleh tekanan yang diruamkan oleh ketakutan saya sendiri. Belajar berani, belajar menaruh hati dan belajar berbuat walau tak banyak dan tak terlihat. Itulah yang saya nikmati, lebih mahal dari angka sebuah materi....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun