Ketiga, faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur. Artinya debitur tidak berkontribusi menyebabkan keadaan tersebut terjadi, sehingga tidak ada tanggung jawab pada dirinya;
Adapun impak ketika debitur mendalilkan keadaan memaksa terkait ketidak mampuannya melaksanakan prestasinya adalah kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan itu dipenuhi, kreditur tidak dapat mengatakan debitur berada dalam keadaan lalai, serta kreditur tidak dapat menuntut penggantian biaya, rugi, dan bunga kepada debitur.Â
Belakangan ini, isu penerapan dalil Keadaan Memaksa menjadi krusial, terutama sejak Presiden RI Joko Widodo menerbitkan Keppres No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) yang menetapkan COVID-19 sebagai bencana non-alam. Hal mana menimbulkan diskursus ditengah kalangan masyarakat, untuk mengategorikan COVID-19 sebagai suatu Keadaan Memaksa (Force Majeur).
Sampai tulisan ini dibuat, pendapat dari beberapa pakar masih terbelah, beberapa pakar menyatakan COVID-19 dapat dikategorikan sebagai Keadaan Memaksa dan beberapa menyatakan COVID-19 bukan merupakan Keadaan Memaksa. Salah satu praktisi hukum yang mendukung legitimasi COVID-19 berdasarkan Keppres No. 12 Tahun 2020 sebagai Keadaan Memaksa adalah Michael Hadilaya. Beliau menyatakan bahwa kondisi penyebaran wabah virus corona saat ini bisa masuk kategori sebagai Force Majeur. Berbeda dengan pendapat tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyatakan bahwa Keppres No.12/2020 tidak bisa jadi legitimasi Force Majeure untuk membatalkan perjanjian hukum maupun kontrak (https://nasional.kontan.co.id/news/ diakses pada tanggal 10 Mei 2020).
Perbedaan pendapat seperti ini, tentu akan menimbulkan polemik ditengah-tengah masyarakat terkait dengan kepastian hukum COVID-19 sebagai Keadaan Memaksa. Untuk menjawab hal tersebut maka diperlukan doktrin yang tepat untuk menguraikan ruang lingkup dari Keadaan Memaksa sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata.
Guru besar Universitas Sumatera Utara, Tan Kamelo dalam diskusi webinar ‘Force Majeur dalam Hubungannya dengan Keppres No. 12 Tahun 2020’ yang diselenggarakan Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Rabu (29/4) menyatakan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (zij moeten te goeder trouw worden ten uitvoer gebragt) sungguhpun Keadaan Memaksa terjadi. Menurut beliau ketentuan dalam Pasal 1244 KUH dan Pasal 1245 Perdata menegaskan bahwa apabila tidak ditemukan alasan untuk tidak memenuhi suatu kontrak, maka debitur harus dihukum membayar biaya, rugi dan bunga tetapi sebaliknya apabila debitur mampu untuk membuktikan suatu keadaan tidak normal (Keadaan Memaksa) sebagai penyebab tidak dipenuhinya prestasi, maka debitur tidak dapat diminta pertanggung jawaban. Beliau juga menyampaikan bahwa jika debitur tidak memiliki itikad baik maka ketentuan dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata tidak dapat memberikan perlindungan hukum kepadanya.
Berlandaskan doktrin tersebut maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas dari penerapan klausul Keadaan Memaksa dalam suatu perjanjian ditentukan oleh terdapatnya itikad baik dalam diri debitur atau tidak. Apabila debitur memiliki itikad baik dalam melaksanakan kewajibannya sesuai yang telah disepakati dalam perjanjian, tetapi karena sebab tertentu ia tidak dapat menjalankan kewajibannya, maka ia wajib dibebaskan dari tanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya tersebut.
Oleh sebab itu, selain terpenuhinya tiga unsur Keadaan Memaksa yang telah disebutkan sebelumnya di atas, hal yang menjadi penentu untuk menerapkan klausul Keadaan Memaksa sebagai dalil untuk menunda pelaksanaan prestasi adalah adanya itikad baik dalam diri debitur. Secara sederhana, itikad baik berarti debitur yang mendalilkan Keadaan Memaksa mampu membuktikan bahwa kegagalan dalam pemenuhan prestasinya diakibatkan oleh Keadaan Memaksa tersebut, bukan hanya menjadikan Keadaan Memaksa sebagai alibi semata. Atau dalam pengertian lain, debitur mampu membuktikan hubungan kausalitas antara Keadaan Memaksa dengan tindakan debitur yang tidak melaksanakan prestasinya.
Dengan demikian, sungguhpun Pemerintah telah menetapkan COVID-19 sebagai bencana, tidak serta-merta menjadikan COVID-19 sebagai Keadaan Memaksa yang dapat dijadikan dalil untuk menghilangkan atau membebaskan para pihak dari prestasinya. Penerapan dalil COVID-19 sebagai Keadaan Memaksa harus dilihat secara kasuistis (case by case). Jika bencana COVID-19 berimplikasi secara langsung menyebabkan terhalangnya pemenuhan prestasi debitur dan secara simultan debitur terbukti memiliki itikad baik (ia dapat membuktikan hubungan kausalitas antara bencana COVID-19 dengan kegagalannya memenuhi prestasi), maka demi hukum ia dibebaskan dari tanggungjawabnya. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengujian terlebih dahulu mengenai sampai sejauh mana dampak bencana COVID-19 mempengaruhi kemampuan debitur untuk melaksanakan prestasinya.
Berdasarkan uraian tersebut maka penulis merekomendasikan beberapa hal yang wajib dilakukan oleh debitur untuk menerapkan dalil COVID-19 sebagai Keadaan Memaksa.
Pertama, debitur harus memastikan bahwa klausul Keadaan Memaksa diatur dalam perjanjian dan meneliti lebih lanjut apakah bencana COVID-19 beserta kebijakan pemerintah terkait merupakan ruang lingkup Keadaan Memaksa yang diatur dalam perjanjian;