Usai hujan reda pagi tadi, antrian kendaraan dari luar ibukota mengular panjang memasuki ruas jalan protokol Jakarta. Nyaris tak ada jalan tersisa yang luput dari deru kendaraan bermotor.
Terlepas dari rencana program kerja Gubernur DKI Jakarta Jokowi, ada problem besar dalam mengatasi kemacetan di Jakarta dan sekitarnya. Penataan arus lalu lintas yang belum terintegrasi di wilayah Jakarta turut berdampak pada daerah-daerah seperti Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi (Bodetabek). Meski nantinya Jokowi berhasil membangun sistem transportasi massal MRT, monorel dan busway, namun kepadatan kendaraan di ruas jalan pastinya tetap terjadi.
Andaikata penumpang bis kota dan pemilik kendaraan bermotor nantinya akan menggunakan MRT, saya perkirakan tak akan beralih hingga 50 persen. Pemilik mobil dan sepeda motor pribadi tentunya tak akan rela menjual kendaraannya. Mereka akan tetap menggunakan kendaraannya kapan pun mereka mau. [Baca tulisan saya: MRT versi Jokowi dan MRT versi Bang Kumis]
Nah, ini dia sumber kemacetan itu!
Harus diakui, harga kendaraan bermotor di Indonesia memang terbilang murah. Apalagi dengan system kredit kendaraan yang semakin dipermudah, siapa pun orang yang berusia di atas 17 tahun dapat dengan mudah membeli kendaraan.
Misalnya, mobil keluarga berpenumpang 8 orang saat ini dipasarkan oleh perusahaan otomotif Toyota, Daihatsu, Nissan dan Suzuki harganya antara Rp 100 hingga 150 juta tergantung tipenya. Tampaknya, merek-merek tersebut terlihat populer dibandingkan mobil sedan sekelas Mercedes, Audi, Honda dan lainnya.
Lain lagi dengan sepeda motor yang kini semakin merakyat. Harga motor baru saat ini bervariasi antara Rp 10 hingga 18 juta. Apalagi kini trend-nya kalangan perempuan menggunakan motor jenis matic. Selain digunakan oleh kalangan mahasiswa dan karyawan di Jakarta, motor juga sudah banyak digunakan oleh berbagai profesi seperti pedagang kaki lima, buruh hingga pelajar SMP. Bahkan saya pernah dengar ada pengemis di lampu merah sudah memiliki motor bekas dengan menggunakan jasa kreditur. Aneh? Tentu tidak! Karena dengan sistem pembayaran Rp 300 hingga Rp 500 ribu per bulan, maka siapa pun bisa melenggang dengan ‘kuda besi’ di jalanan.
Ini memang tugas berat Jokowi dalam merayu warga ibukota dan sekitarnya, setelah MRT dibangun dan busway ditambah armadanya. Jokowi harus bisa meyakinkan publik tentang efisiensi dan efektifitas transportasi publik. Caranya, meniru regulasi pemerintah di Jepang dan Singapura:
Pertama, menaikkan pajak kendaraan bermotor. Tujuannya adalah subsidi dari pajak orang mampu ke masyarakat banyak. Dengan terbangunnya system transportasi publik, maka kita harus sepakat bahwa pemiliki kendaraan bermotor adalah kelompok orang kaya. Mobil dan motor yang memasuki Jakarta kebanyakan berasal dari luar Jakarta. Hanya kendaraan asal Bogor yang mudah dikenali di Jakarta karena menggunakan pelat nopol ‘F’. Sedangkan kendaraan dari Depok, Tanggerang dan Bekasi, hingga kini masih menggunakan nopol ‘B’. Untuk itu, Jokowi harus menjalin kerja sama dengan pemerintah di sekitar Jakarta dalam membangun sistem transportasi publik. Jadi dengan pembangunan transportasi publik di sekitar Jakarta, maka warga akan menikmati transportasi ala Jakarta.
Kedua, menaikkan tarif parkir. Warga Jepang harus berpikir panjang untuk membeli mobil atau motor, karena tarif parkirnya yang tinggi. Mereka lebih baik menggunakan MRT daripada repot-repot mencari tempat parkir murah di pingggir jalan. Kecuali tarif parkir kantor pemerintah dan swasta yang sudah menentukan lokasi mobil dan motor dinasnya, seluruh gedung yang memiliki halaman parkir dikenakan biaya tinggi. Jika hal ini dilakukan Jokowi, maka masyarakat akan memilih dan mencintai MRT/busway.
Ketiga, membangun pedestrian dan trotoar yang terintegrasi. Ini adalah langkah penghijauan dan penataan ruang publik di sekitar stasiun MRT dan halte busway. Jika area halte dan stasiun menuju kantor atau pusat perbelanjaan, maka warga akan senang berjalan kaki tanpa kepanasan atau kehujanan.
Keempat, menambah armada transportasi. Semakin banyak armada MRT dan busway yang terintegrasi satu sama lain, maka orang akan mengutamakan moda transportasi ini ke manapun. Tentu, keamanan dan kenyamanan penumpang merupakan jaminan penting warga menggantungkan kebutuhannya di sini.
Dan kelima, Jokowi harus terus menjalin komunikasi dengan siapapun, untuk mengembangkan sistem transportasi ini. Jika ada ide dari pengusaha yang bersedia membangun halte-nya menembus gedung mall ya silakan difasilitasi. Jadi, MRT bisa bersifat ekonomis guna mengurangi beban subsidi. Kalau perlu, dibangun halte MRT di Istana Negara, supaya Pak Beye dan jajarannya jika rapat cukup menggunakan jasa MRT atau busway. Dengan demikian, kan anggaran pengawalan dan mobil dinas para menteri bisa lebih efisien. Syukur-syukur, para penumpang bisa curhat ke Pak Beye atau para menteri di dalam perjalanan.
Salam Kompasiana!
Jackson Kumaat on :
|Â My Blog |Â Kompasiana |Â Website |Â Facebook |Â Twitter |Â Posterous |Â Company|Â Politics |
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H