JUDUL di atas merupakan kegundahan saya atas sejumlah persistiwa yang terjadi di Tanah Air. Maraknya isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM), intoleransi umat beragama dan pembiaran aksi-kekerasan, telah menyebabkan sebagian masyarakat menjadi korban dan terusir dari tempat tinggalnya. Sayangnya, Negara sering lalai dan abai terhadap kondisi korban.
Ada kondisi terburuknya adalah dua pilihan bagi para korban, yakni meminta suaka Negara sahabat atau mendirikan negara di dalam negara alias berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Untuk meminta suaka biasanya diterapkan dalam kasus tertentu, dan prosesnya lumayan sulit dilakukan. Sedikit sekalih negara sahabat yang memiliki kantor perwakilannya di Indonesia bersedia mengabulkan suaka warga.
Kondisi geografis di Indonesia masih memungkinkan untuk terpisah dari NKRI. Bayangkan saja, masih banyak pulau-pulau terluar yang nyaris luput dari perhatian pemerintah. Bahkan, masih banyak warga di daerah perbatasan yang mampu mengandalkan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) untuk menghidupi daerahnya tanpa bantuan langsung dari pemerintah pusat dan daerah.
Dalam kasus kekerasan di Lampung, warga Bali di Lampung Selatan menjadi korban lemahnya penerapan penegakan hukum. Padahal, jika aparat mampu bertindak cepat dan tegas, sebenarnya aksi kekerasan massal tak perlu terjadi. Di satu sisi, sebenarnya warga Bali mampu hidup dari sektor pariwisata di Pulau Bali, tapi di sisi lain warga Bali juga mendambakan pembauran masyarakat di manapun. [Baca: Surat dari Bali untuk Bapak Presiden: Bali Dibom, Dibantai dan Diusir!]
Kondisi serupa juga dialami kempok Ahmadiyah serta jemaat gereja di Bogor dan Bekasi. Mereka sudah melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara, tapi Negara tak memenuhi kewajibannya dalam melindungi kemerdekaan beribadah.
Kasus terkini dari ketidak-berdayaan masyarakat dari ‘intervensi’ pemerintah terhadap masyarakat adalah penguasaan sektor ekonomi SDA tambang. Ada tiga daerah yang ‘gerah’ dengan intervensi yang berlebihan ini sehingga mengurangi pendapatan daerah, seperti Aceh, Kalimantan Timur dan Papua. [Baca: Pemuda Kaltim dan Papua Menuntut Kemerdekaan] Belakangan ini, warga Papua dan simpatisannya di luar negeri mulai gencar menuntut kemerdekaan, termasuk saat Pak Beye mendapat gelar ksatria di London Inggris. [Baca: 10 Tahun Otsus Papua: Benarkah Eropa Merestui Papua Berpisah dari RI?]
Nah, jika mau jujur, adakah pihak lembaga independen yang berani bertanya ke masyarakat tentang eksistensi NKRI? Adakah media massa yang bertanya ke korban kekerasan tentang apa negara pilihannya jika Pemerintah RI tak sanggup lagi melindungi mereka? Atau, adakah lembaga survei independen yang berani mengadakan pooling jajak pendapat ke masyarakat di 33 propinsi, tentang perlu-tidaknya referendum?
Ada dua negara di dunia ini yang berhasil mengadakan referendum secara damai tanpa kekerasan, yakni Ceko Sovakia dan Belanda. Slovakia akhirnya lepas dari Ceko melalui referendum damai. Sedangkan Belanda mengadakan referendum untuk mengetahui isi hati masyarakat dan bukan digunakan sebagai keputusan politik.
Menurut saya, Indonesia perlu mencontoh Belanda dalam mengetahui kondisi persoalan yang terjadi di masyarakat. Sudah saatnya, pemerintah mendengar isi hati masyarakat. Dengan demikian maka akan ada perbaikan kinerja aparatur pemerintahan dari tertinggi hingga terendah. Yang penting jangan sampai terjadi aksi demo besar-besaran meminta keluar dari NKRI tapi dilakukan dengan kekerasan. Referendum dengan cara damai itu penting.
Salam Kompasiana!
Jackson Kumaat on :
|Â My Blog |Â Kompasiana |Â Website |Â Facebook |Â Twitter |Â Posterous |Â Company|Â Politics |
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H