[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="KSAD Jendral TNI Pramono Edhi Wibowo berpidato di Rakernas KNPI (23/10/2012) Foto: dok.pribadi Jackson Kumaat"][/caption]
SEBUAH peristiwa yang bernuansa ‘gerakan separatis’ nyaris terjadi dalam rapat kerja Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di Lombok NTB pada 22 Oktober 2012 lalu. Saat itu, perwakilan KNPI Kalimantan Timur (Kaltim) menuntut berdirinya Negara Kaltim. Pernyataan mereka disampaikan di hadapan KSAD Jendral Pramono Edhie Wibowo, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar dan mantan Ketua Umum DPP KNPI Tjahjo Kumolo.
Meski tuntutan berdirinya ‘Kaltim Merdeka’ itu disampaikan di dalam sebuah forum internal, tapi menurut saya, hal ini perlu disikapi dengan bijak. Apalagi tuntutan KNPI Kaltim tersebut disertai dengan rencana aksi demo besar-besaran menuntut otonomi khusus (otsus) bagi Kaltim pada November mendatang. Selain berdemo di Istana Negara, mereka juga mengancam akan menutup Bandara Sepinggan, Balikpapan.
Ciyus? Miapah? [terjemahan bahasa alay yang artinya: Serius? Demi apa?] Hehehe…
Salah satu yang melatar-belakangi tuntutan Kaltim Merdeka adalah adanya gugatan warga Kaltim atas penerapan Undang Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Kabarnya, sejumlah anggota DPR RI turut memotori judicial review Pasal 14 huruf e dan f UU No 33/2004 itu, karena dianggap kurang adil. Perlu diketahui, provinsi Kaltim adalah daerah penghasil tambang terbesar di Indonesia, di antaranya adalah minyak bumi, gas, emas dan batubara.
Menurut perwakilan KNPI Kaltim tersebut, wilayah Kaltim seharusnya memiliki kewenangan khusus dalam mengelola keuangan daerah, karena memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang banyak. Dengan diterapkannya UU itu di wilayah Kaltim, pemerintah pusat mendapatkan ‘keuntungan’ lebih banyak daripada pemerintah setempat. Hal ini berdampak pada lambatnya roda perekonomian daerah.
Sebagai daerah kaya SDA yang berbatasan dengan Malaysia, Kaltim menginginkan ‘wewenang’ lebih dalam mengelola keuangan daerah. Mereka menuntut adanya otonomi khusus seperti yang sudah dinikmati oleh provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Kedua provinsi ini memang dikenal memiliki potensi SDA berlimpah seperti gas alam dan emas.
Sama seperti Kaltim, sekelompok anak muda Papua hingga kini terus bergerilya menuntut kemerdekaan, meski tak terang-terangan seperti anggota KNPI Kaltim. Beberapa waktu lalu, saya terkejut saat mengunjungi Belanda beberapa waktu lalu, melihat pemasangan bendera OPM (OrganisasiPapua Merdeka) di sebuah bangunan ruko di Filiaal 0024 Kalverstraat 71 Amsterdam. [Baca tulisan saya: Aktivitas Organisasi Papua Merdeka di Amsterdam: Berjuang Meraih Dukungan Referendum dari Negara-negara Eropa. Ngomong-ngomong, saya baru sadar foto-foto bendera OPM yang saya tampilkan di Kompasiana itu, sudah lenyap. Adakah yang bisa menjawab?]
Meski belakangan diketahui ruko tersebut hanya menjual cindera mata dan bukan kantor perwakilan OPM, tapi bagi saya ini merupakan ‘sinyal bahaya’ dalam menjaga keutuhan NKRI. Secara logis, hasil penjualan cindera mata itu merupakan modal gerakan Papua Merdeka. Ini adalah bukti, bahwa rencana berdirinya Papua Merdeka mendapat dukungan dari pihak asing. Bagi saya ini harus diantisipasi sejak dini, apalagi Pak Beye berencana ke London Inggris dalam lawatan kenegaraan.
Bagi saya, tuntutan kemerdekaan dari beberapa daerah di Indonesia harus segera disikapi bersama. Pemerintah harus bersedia mendengar dan menjawab harapan warga, khususnya yang tinggal di perbatasan negara. Sedangkan seluruh elemen masyarakat termasuk pemuda, harus tetap bersatu padu mendukung keutuhan NKRI.
Salam Kompasiana!
Jackson Kumaat on :
|Â My Blog |Â Kompasiana |Â Website |Â Facebook |Â Twitter |Â Posterous |Â Company|Â Politics |
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H