Mohon tunggu...
Jackson Kumaat
Jackson Kumaat Mohon Tunggu... -

"Politisi muda yang selalu berharap adanya perbaikan hidup bangsa dan negara yang lebih baik dan benar melalui tulisan-tulisan, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang disegani dan negara yang dihormati"

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

MRT versi Jokowi dan MRT versi Bang Kumis

2 November 2012   02:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:05 4766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Maket proyek MRT Dukuh Atas - Lebak Bulus (KOMPAS)"][/caption]

Mandeg-nya pembangunan MRT (Mass Rapid Transit) di Jakarta di era kepemimpinan Gubernur Jakarta yang beru, Joko Widodo (Jokowi), membuka kebobrokan manajemen gubernur sebelumnya, Fauzi Bowo (Bang Kumis). Awalnya, saya sempat heran kenapa Jokowi tiba-tiba menunda pembangunan MRT yang sudah dirancang sebelumnya oleh Bang Kumis.

Di tulisan saya tahun 2011 lalu berjudul Mencermati Proyek MRT Jakarta, saya sempat meragukan proyek yang digagas oleh Bang Kumis itu.

Nah, setelah saya cermati, ternyata memang ada yang tak beres dari perjanjian kerja pembangunan MRT, setelah pihak PT MRT memaparkan presentasi system transportasi publik ini di hadapan Jokowi. Untuk lebih memahami alasan proyek MRT ini ditolak sementara oleh Jokowi, saya perlu membedah proyek MRT Bang Kumis.

Pelaksanaan MRT Bang Kumis terbilang cukup kejam, karena Pemda DKI dikenakan denda Rp 800 juta per hari jika proyek ini terhenti. Ya ini aneh, kok bisa-bisanya ada denda yang dilakukan oleh kontraktor ke Pemprov DKI Jakarta. Istilah ‘pinalti’ yang diterapkan oleh investor Japan International Coorporation Agency (JICA) asal Jepang ini tentunya terkait perjanjian kerja sama yang dilakukan sebelum Jokowi menjabat.

Rute MRT yang tak memecahkan masalah kemacetan ibukota, harus dievaluasi. Di zaman Bang Kumis, rute MRT baru sebatas utara dan selatan, yakni Lebak Bulus-Kampung Bandan. Padahal masalah kemacetan yang terjadi di Jakarta adalah barat dan timur, yakni Bekasi hingga Bandara Sukarno Hatta. Sedangkan rute MRT yang direncanakan Bang Kumis itu bertabrakan dengan jalur kereta api komuter. Jadi ada baiknya Pemprove membenahi jalur komuter dan membuat rute baru Bekasi hingga Bandara Sukarno Hatta, kemudian selanjutnya membuat jalur baru di Semanggi yang bisa kea rah Kota dan Blok M. Nantinya, terminal Semanggi ini menjadi interchange yang bisa mengarah keberbagai penjuru ibukota. Pengalaman saya, di Singapura sendiri memiliki tiga terminal interchange.

Konon, MRT versi Bang Kumis sangat terikat dengan perjanjian kerjasama yang tak seimbang, seperti bahan baku dan teknisi yang harus berasal dari Jepang. Jika ini benar, saya mendukung Jokowi membatalkan perjanjian kerjasama MRT dengan JICA ini, karenahal ini merupakan cara kerja tak sehat. Bagaimana jika komponen MRT dan suku cadangnya yang harganya mahal hanya bisa diperoleh dari Jepang? Jika ini terjadi, maka ini sama saja menciptakan ketergantungan pada satu pihak, padahal ini adalah di era kebebasan memilih. Untuk itu perlu dikaji lagi apakah investor MRT bikinan Thailand, Singapura dan China bisa mengganti peran Jepang di proyek MRT Jakarta.

Konsep MRT di Jakarta harus dikaji berdasarkan nilai fungsi ekonomis. Jadi, seluruh rute harus merupakan rute jalur sibuk penumpang agar pemilik kendaraan bermotor beralih ke sarana transportasi MRT. Untuk itu, gerbong MRT harus lebih panjang agar dapat menampung banyak penumpang. Inilah yang menjadi alasan pemilik kendaraan bermotor enggan menggunakan busway, yakni karena bus trans Jakarta yang hanya bisa menampung sedikit penumpang dan jumlah armadanya terbatas. Di Singapura, menunggu MRT di setiap halte tak mencapai 5 menit, sedangkan di Jakarta perlu sabar dan rela antre hingga berjam-jam di jam sibuk untuk menunggu armada Trans Jakarta tiba.

Saya menaruh harapan pada Jokowi dan Ahok dalam membangun Jakarta. Sebagai ibukota negara, maju-tidaknya Jakarta akan berpengaruh pada pembangunan di daerah lainnya. Jika Jokowi langsung tunduk pada aturan main investor asing demi kepentingan sesaat, maka daerah lain akan bercermin pada gaya main Jokowi. Inilah saatnya Jokowi berani bersikap tetap independen, seperti ucapannya yang mengatakan, ”Saya ini Spartan, mau siang malam terus enggak berhenti-berhenti."

Selamat berjuang melawan penindasan, Spartan! Saya tetap masih mendukung Anda.

Salam Kompasiana!

Jackson Kumaat on :

My Blog KompasianaWebsiteFacebookTwitterPosterousCompanyPolitics |

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun