[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Bu Ani dan Bu Mega (foto: www.inilah.com)"][/caption] Pagelaran Pentas Pemilu 2014 masih lama. Tapi sejumlah calon presiden sudah berancang-ancang menyiapkan strategi politiknya, meski sulit terbaca oleh publik. Mantan presiden Megawati Sukarnoputri (Bu Mega) dan Ibu Negara Ani Yudhoyono (Bu Ani) adalah dua kandidat yang sudah melaksanakan gerilya politik tersebut.
Contoh kecil aksi Bu Ani adalah meningkatnya kuantitas kegiatan Ibu Negara di beberapa daerah. Yang terbaru adalah pidato Bu Ani di Harlah Fatayat NU di Jakarta. Sebelumnya, Bu Ani turut serta dalam peringatan Hari Kanker Sedunia yang jatuh pada 22 Februari 2012 di Istana Negara.
Sebenarnya, kegiatan tersebut belum apa-apa. ‘Kampanye’ awal Bu Ani menjelang Pemilu 2014 ramai diperbincangkan di forum resmi maupun forum media online dalam bentuk pembentukan opini. Memang harus diakui, keikut-sertaan Bu Ani di bursa capres menimbulkan pro-kontra, karena dinilai memanfaatkan perannya sebagai Ibu Negara saat ini. Tapi, justru ini terlihat seksi sebagai opini publik.
Beda dengan Bu Mega yang mulai menyalakan mesin politiknya sejak 2011 lalu. Dengan memanfaatkan kondisi politik Tanah Air yang belum stabil serta ketidak-puasan masyarakat terhadap penegakan hukum, para pendukung Bu Mega mulai unjuk gigi. Hasilnya, popularitas Bu Mega selalu ke urutan tiga besar dalam setiap survey yang diadakan lembaga penelitian.
Sang Suami, Taufik Kiemas, boleh-boleh saja gerah dengan isu Bu Mega masuk ke bursa kandidat Presiden 2014-2019. Ia selalu membantah ada niat Bu Mega jadi presiden kembali. Malahan, ia kerap menyindir para politisi yang usianya sudah terlalu tua untuk memimpin Negara.
Dalam tulisan saya sebelumnya berjudul Bu Mega Vs Bu Ani di Pemilu 2014, pernyataan Taufik tersebut bukan ingin menegaskan bahwa istrinya tak akan maju kembali. Bagi saya, pernyataan Taufik tersebut justru sebagai reaksi kompetitor, yang menyampaikan pesan terselubung. Pertama, Taufik kesal terhadap Demokrat yang ingin mempertahankan kekuasaan untuk ‘ketiga kalinya’ lewat anggota keluarga presiden. Kedua, Taufik sebenarnya ingin Demokrat segera mengumumkan capres lain yang usianya muda. Ibarat sedang bermain kartu, kubu Demokrat dan PDIP bersikukuh menyimpan kartu truf-nya, hingga lawannya lengah.
Mudah-mudahan masayarakat bisa lebih jeli mencermati gaya calon pemimpin kita, terutama jika Bu Mega atau Bu Ani yang menjadi presiden setelah Pak Beye. Bagi saya, pemimpin yang ideal adalah orang yang memiliki karakter dan memegang teguh prinsip. Di sini saya tak berniat menjatuhkan popularitas Bu Ani atau Bu Mega. Justru, jika mereka siap menjadi pemimpin, mbok ya monggo jujur kepada masyarakat. Jangan ada dusta di antara kita.
Nah, jika memang kenyataannya mereka kurang atau tak ingin menjadi presiden, ya katakanlah sejujurnya. Karena, masih banyak Anak Bangsa ini yang antri untuk memimpin negeri kita menjadi lebih baik. Jangan halangi dan menjadi batu sandungan bagi langkah mereka.
Salam Kompasiana!
Jackson Kumaat on :
|Â My Blog |Â Kompasiana |Â Website |Â Facebook |Â Twitter |Â Posterous |Â Company|Â Politics |
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H