Parlemen kini bikin kebijakan nyeleneh soal tugas peliputan pers di lingkungan DPR RI. Rencananya, DPR bakal mengesahkan Rancangan Peraturan DPR tentang Tata Tertib Peliputan Pers pada Kegiatan DPR.
Menurut saya, ada benarnya juga jika DPR mengatur kinerja peliputan para jurnalis di lingkungan DPR. Pengaturan ini sangat penting dilakukan agar tak mengganggu kinerja DPR. Tapi masalahnya, DPR saat ini tengah disorot publik terkait kasus mark up anggaran, suap dan korupsi.
Saya bukan jurnalis dan penghuni di DPR. Tapi, soal kehadiran wartawan di DPR memang sering menjadi perbincangan menarik di kalangan politisi dan pengusaha yang pernah mengunjungi lingkungan DPR. Apalagi, wartawan di lingkungan DPR tak terpusat di satu lokasi sehingga membaur bersama penghuni DPR dan para tamu.
Saya bukanlah orang yang alergi pada wartawan. Tapi masalahnya, hingga kini masih banyak ‘wartawan’ yang mengaku wartawan. Mereka inilah wartawan aspal alias asli tapi palsu, yang sebenarnya inti dari latar belakang rencana pengaturan jurnalis di DPR. Dulu, mereka disebut kelompok bodrek yang kerap meminta imbalan (uang) usai mewawancarai narasumber di DPR. Nah, mereka inilah yang mencoreng nama baik ‘wartawanasli’.
Faktanya, ada banyak wartawan di lingkungan DPR. Dari sekian banyak pos liputan media di Jakarta, DPR adalah pos liputan dengan jumlah media dan wartawan terbanyak. Beda dengan pos liputan Istana Negara yang lebih ketat menerima wartawan untuk meliput kegiatan kepresidenan. Ada baiknya, pihak Sekjen DPR meniru kinerja Istana Negara dalam memberi izin peliputan pers.
Tertibnya kinerja pers di Istana Negara perlu menjadi contoh bagi pers di lingkungan DPR. Terlepas dari kasus dugaan rekayasa pertanyaan wartawan pada jumpa pers di Istana Negara tempo hari, saya menganggap wartawan di pos liputan Istana Negara lebih tertib dari wartawan di pos liputan lainnya. Meski demikian, saya mendukung jika nantinya perlu ada survei yang membuktikan pernyataan saya di atas.
Bagaimana memilih wartawan asli untuk diterima meliput di DPR?
Menurut saya, pada dasarnya tak sulit memilih wartawan untuk masuk ke lingkungan peliputan. Apalagi, wartawan sudah dibekali oleh kartu pers dari perusahaan medianya masing-masing. Bedasarkan jenis media, terdapat wartawan dari media cetak (surat kabar dan majalah), televisi, radio dan media online. Nah, di luar media tersebut, sebaiknya tak perlu diberikan izin meliput di lingkungan peliputan DPR.
Masalahnya, bagaimana dengan ‘media yang tak jelas’ atau wartawan bodrek yang memaksa hadir di lingkungan DPR. Dalam sejarah perkembangan wartawan di Indonesia, memang tak ada resep jitu untuk mengatasi wartawan bodrek. Wartawan senior alm Rosihan Anwar bilang, wartawan bodrek akan hilang dengan sendirinya, asalkan wartawan asli meningkatkan tugas jurnalistik.
Jika memang DPR ingin membersihkan wartawan asli dari wartawan bodrek, maka sebaiknya pihak Sekjen DPR membuka ruang dialog dengan wartawan asli. Ini lebih efektif daripada menerapkan aturan kaku yang justru menghambat kinerja jurnalistik.
Salam Kompasiana!
Jackson Kumaat on :
|Â Kompasiana |Â Website |Â Facebook |Â Twitter |Â Blog |Â Posterous |Â Company |Â Politics |
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H