Terbongkarnya kasus pesta sabu-sabu pilot Lion Air, telah membuka mata masyarakat, khususnya para penumpang yang biasa menggunakan maskapai itu untuk berpergian. Peristiwa ini sangat memalukan, karena terjadi dua kali di waktu yang berdekatan.
Peristiwa pertama pilot Lion Air berinisial ‘Han’ ditangkap bersama rekan-rekannya di tempat karaoke Hotel Clarion Makassar pada 10 Januari 2012, sedangkan peristiwa kedua pilot berinisial ‘SS’ ditangkap di Hotel Garden Palace Surabaya saat bermain kartu dengan rekan-rekannya pada 4 Februari 2012.
Kedua pilot tersebut masih ditangani oleh pihak kepolisian, untuk selanjutnya diproses secara hukum. Kini, lisensi pilot tersebut telah dicabut Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara.
Persoalan selesai di situ? Tentu belum!
Publik harus mendapat kejelasan soal standarisasi pilot, sebelum menerbangkan pesawat. Sedikitnya ada 100 nyawa penumpang ada di tangan pilot dan co-pilot. Apalagi, di saat harga tiket terbilang murah, maka dalam sehari pilot bisa menerbangkan 500 hingga 1.000 penumpang di 10 rute penerbangan. Jika dalam satu bulan ia bekerja full, maka setiap pilot dapat membawa 10 hingga 25 ribu penumpang!
Saya masih tak habis pikir, pilot ‘SS’ yang ditanggap aparat Badan Narkotika Nasional (BNN) di Surabaya pekan lalu. Kala itu, pilot ‘SS’ dan rekan-rekannya ditangkap sekitar jam 3 subuh. Padahal, beberapa jam lagi, ia harus menerbangkan pesawat untuk rute Makassar dan Balikpapan. Artinya, jika pilot ‘SS’ tak ditangkap, maka ratusan orang yang hendak ke Makassar dan Balikpapan saat itu, menggantungkan hidupnya dengan seorang pilot yang ‘teler’ sabu-sabu. Huh!
Beruntung, Pilot ‘SS’ ditangkap menjelang ia duduk di kursi kendali. Entah apa jadinya, jika ia tetap nekat menerbangkan pesawat. Mungkinkah pesawat Lion Air itu akan celaka? Atau, justru Pilot ‘SS’ selama ini ketergantungan mengonsumsi sabu sebelum menerbangkan pesawat?
Menurut saya, jajaran Kementerian Perhubungan harus segera membenahi persoalan ini. Seluruh calon pilot memang sudah menjalani tes kesehatan, di antaranya tidak mengonsumsi narkoba. Tapi dengan munculnya dua kasus ini, Pemerintah harus kembali melakukan seleksi terhadap para pilot di seluruh Indonesia, tanpa terkecuali. Jika tak bisa setiap hari, minimal mereka harus dites setiap pekan, seperti layaknya pemain sepak bola di liga-liga Eropa yang mengonsumsi doping.
Terus terang, saya pun jadi was-was naik pesawat, sehingga menunda berpergian jauh. Meski harga tes kesehatan ini mahal dan bisa berdampak pada kenaikan harga tiket pesawat, tapi tentunya akan memberi manfaat bagi orang banyak, seperti meminimalisir terjadinya kecelakaan akibat faktor human error.
Dengan adanya tes anti-narkoba pada seluruh pilot, setidaknya ini bisa menjawab keresahan di masyarakat. Pengendara mobil Xenia yang menabrak dan menewaskan 9 rang iring-iringan pejalan kaki di kawasan Monas, pun mengonsumsi sabu-sabu. Dan harus diakui, harga nyawa tak ternilai harganya dengan harga sebuah mobil Daihatsu Xenia.
Penumpang manapun tentu mengharapkan terbang dengan pesawat yang dikemudi oleh pilot waras dan sehat. Demikian juga masayarakat lainnya, tak ada yang mau kejatuhan pesawat jatuh yang pilotnya ‘teler’ karena begadang pesta sabu. Penanganan dampak kecelakaan pesawat harganya jauh lebih mahal, daripada penyediaan tes anti-narkoba bagi para pilot. Sebelum pesawat celaka, tes narkoba ini wajib dilakukan.
Salam Kompasiana!
Jackson Kumaat on :
|Â Kompasiana | Website | Facebook | Twitter |Â Blog |Â Posterous |Â Company |Â Politics |
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H