[caption id="" align="aligncenter" width="648" caption="Penyerahan sapi dari warga HKBP Jatiasih ke warga Muslim di lingkungan sekitar gereja, hari Sabtu 27 Agustus 2011. Acara ini dihadiri pimpinan HKBP Jatiasih Pdt JM Manullang,STh, aparatur Kelurahan Jatirasa, pengurus Rt dan RW setempat serta pihak Polsek Jatiasih. (Foto: dok facebook St R Sitorus)"][/caption]
Ada sebuah berita toleransi umat beragama yang menarik perhatian saya, akhir pekan lalu. Berita yang dilansir di situs okezone.com tersebut, berjudul Lebaran, HKBP Jatiasih Sumbangkan Satu Ekor Sapi. Ini adalah segelintir berita mengasyikan di antara berita-berita seputar mudik yang membosankan.
Seekor sapi ini dikabarkan untuk 170 warga Muslim yang tinggal di lingkungan sekitar gereja di Jalan Swadaya Nomor1 RT.01/04 Jatiasih kota Bekasi. Menurut Ketua Dewan Diakoni Sosial HKBP Jatiasih St Richard Sitorus, Kegiatan ini bermaksud untuk menjalin hubungan silaturahmi warga Gereja HKBP Jatiasih dan warga masyarakat di sekitar gereja yang saat ini sedang puasa.
Sebenarnya, seekor sapi sumbangan bantuan ini nilainya kecil. Jika dihitung-hitung, seekor sapi hidup seberat 400 Kg maka akan susut hingga 30-40 persen setelah dipotong.
Maka daging sapi yang utuh tanpa tulang itu, diperkirakan berjumlah 200-250 Kg. dengan jumlah tersebut, warga yang tinggal di sekitar lingkungan HKBP Jatiasih mendapat ‘paket’ sapi sekitar 1 Kg per kepala keluarga.
Harus diakui, saat ini menjelang Hari Raya Idul Fitri 1432 H, harga kebutuhan pokok terus merangkak naik di pasar-pasar tradisional. Sejumlah swalayan dan supermarket di Jabodetabek misalnya, terpaksa membuka toko hingga larut malam pukul 24.00 WIB.
Sama seperti warga Kristiani menjelang perayaan Natal, sebagian besar umat Islam juga memiliki tradisi memenuhi kebutuhan hari raya. Setiap keluarga biasanya membeli baju baru untuk semua anggota keluarga, dan ini belum termasuk perlengkapan shalat Ied yang baru. Demikian juga keperluan dapur. Setiap ibu rumah tangga pasti mengetahui betul apa saja hidangan yang harus diprioritaskan di saat Lebaran, ketika kerabat bersilaturahmi ke rumah.
Menurut istri saya, harga kebutuhan pokok sudah naik berkisar 20 hingga 50 persen, tergantung jenis-jenisnya. Artinya, jika biasa belanja mingguan sebesar Rp 200 ribu, maka sudah harus mempersiapkan ‘dana ekstra’ menjadi Rp 250 ribu. Sedangkan bagi yang biasa ‘memborong’ belanja bulanan sebesar Rp 1 juta, maka kini mengeluarkan dana tambahan sebesar Rp 500 ribu.
Mungkin itulah yang menjadi dasar pemikiran pengurus HKBP Jatiasih memberikan bantuan seekor sapi. Apalagi, harga daging sapi di pasar tradisional di berbagai wilayah naik signifikan memasuki H-2 Hari Raya Idul Fitri 1432 Hijriah. Tercatat, harga daging sapi di pasaran yang sebelumnya Rp 65.000 per kg, kini naik menjadi Rp 70.000 per kg. Bahkan, sebagian pedagang daging sapi menjual Rp 75.000 per kg.
Satu kg sapi untuk warga di sekitar gereja tentunya belum mencukupi kebutuhan saat Lebaran. Masih banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi oleh tiap warga.
Bagi saya, sumbangan sapi ini bukanlah untuk menjawab persoalan ekonomi masyarakat. Seekor sapi ini memiliki nilai tinggi dalam konteks kerukunan umat beragama. Meski harga (resmi sapi lokal)-nya per ekor berkisar Rp 6 hingga 8 juta, namun acara ‘serah-terima’ sapi di halaman gereja, telah menunjukkan kepekaan sosial warga jemaat terhadap warga sekitar.
Mungkin, ini perlu menjadi inspirasi bagi pengurus gereja-gereja lainnya yang berdiri di sekitar pemukiman penduduk beragama Islam. Tapi, bukan berarti, bahwa setiap gereja harus menyumbangkan sapi menjelang Idul Fitri atau Idul Adha. Setidaknya, sikap jemaat HKBP Jatiasih memberikan seekor sapi ke warga sekitar, merupakan cermin toleransi yang sudah terjalin selama ini.
Gereja HKBP yang merupakan kelompok agama terbesar nomor tiga di Indonesia setelah Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, bulan Oktober 2011 nanti akan menyambut ulang tahunnya yang ke-150 tahun. Itu berarti, jemaat HKBP sudah turut bersama masyarakat memperjuangkan kemerdekaan RI yang ke-66.
Semoga, Gereja HKBP semakin mampu menjawab persoalan bangsa saat ini. Menjadi gereja di tengah bangsa bukanlah sebatas bangunannya yang megah, tapi lebih dari itu, yakni mampu menjadi ‘terang’ dan ‘garam’ bagi lingkungan sekitar.
Salam Kompasiana!
:D Horas Mejuah-juah!
Jackson Kumaat on : Kompasiana | Facebook | Twitter | Blog | Posterous | Company | Politics
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H