MALAM itu, suasana di seputaran jalan di kabupaten Bolaang Mongondow Timur, tampak terang benderang. Ini adalah cermin gotong royong dan keharmonisan warga setempat, dalam memperingati Hari Kesatuan Gerak (HKG) ke-39 PKK dan Pencanangan Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM) ke VIII tahun 2011.
Suasana malam ini adalah kegiatan ibu-ibu PKK Provinsi Sulawesi Utara, yang  menjadi rangkaian Festival Budaya. Kemeriahan warga tersebut merupakan parade aksi-bakar nasi jaha sepanjang 13 kilometer. Nasi jaha adalah salah satu makanan khas Sulawesi Utara, berbahan dasar beras ketan dan santan, yang dibakar setelah sebelumnya diisi kedalam batang bambu berlapis daun pisang.
Awalnya, menu kuliner ini adalah kue Khas Kota Manado dan Minahasa Sulawesi Utara. Kue Nasi Jaha berasal dari kata nasi dan jahe. Â Kue ini disebut Nasi Jaha, oleh karena terbuat dari campuran beras ketan kemudian dibumbuhi dengan jahe lalu diendapkan dengan perasan santan kelapa, dimasukkan dalam bulu (bambu) selanjutnya dipanggang diatas api (bara).
Cara membuat kue nasi jaha, ialah pertama-tama disiapkan bulu dan daun pisang, beras ketan yang sudah dibumbuhi jahe, garam, irisan bawang merah dan bawang putih. Bulu yang didalamnya sudah diisi dengan daun pisang dimasukin beras ketan kira-kira 3/4 setiap ruas bulu. Seterusnya masukan perasan kelapa sampai hampir penuh dalam bulu. Setelah itu bulu dipanggang diatas api sampai matang dan akhirnya siap untuk dihidangkan.
Metode dan cara pembuatan nasi jaha ini sangat tradisional. Menurut Nenek Moyang orang Minahasa, nasi jaha sering dihidangkan pada acara tertentu baik dalam upacara adat maupun hari raya keagamaan dan nasional. Jadi, makanan ini sudah menjadi menu kalangan Kristen dan Muslim.
Warga asal Bolaang Mongondow juga memeriahkan puncak perayaan Idul Fitri di kampung halaman mereka dengan aksi-bakar nasi jaha. Mereka berkumpul bersama ratusan perantau lainnya menjalankan tradisi yang mereka sebut Tradisi Binarundak atau tradisi bakar nasi jaha massal.
Selain jadi puncak perayaan Idul Fitri, tradisi ini juga merupakan ajang bermaaf-maafan sebelum pemudik kembali ke tanah perantauan. Di puncak acara, nasi jaha yang sudah matang kemudian dinikmati beramai-ramai bersama warga lainnya dengan diiringi tabuhan musik rebana serta alunan syair-syair pujian serta doa syukur. Sungguh, keberagamanan itu memang indah.
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H