[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="Pendukung Timnas Indonesia meneriakkan yel-yel dukungan kepada tim Garuda. Foto: Agus Susanto/KOMPAS"][/caption]
Klimaks hubungan Indonesia dan Malaysia, tampaknya dipertaruhkan malam ini 29 Desember 2010. Apa pun yang terjadi, Indonesia harus memenangkan pertandingan!
Lho kok ‘apa pun yang terjadi’? Apakah harus disertai aksi anarkis?
Tentu tidak. Pertandingan final leg kedua Piala AFF di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) antara Indonesia dan Malaysia, harus mengedepankan sportivitas. Baik pemain di lapangan, tim official, wasit, para penonton dan aparat keamanan, harus menjaga sportivitas.
Penentu kemenangan Indonesia, bukan sebatas mencetak gol pertama setelah kick off dimulai. Pun, penentu kemenangan bukan cuma dukungan para penonton tanpa sinar laser, petasan dan kejutan lain yang mengganggu konsentrasi para pemain. Bagi saya, penentu kemenagan adalah kejujuran seluruh peran yang ada di lapangan hijau. Siapa pun dia.
Oleh karena itu, jangan ada lagi aksi-curang di lapangan. Tindakan negatif yang dilakukan oleh pihak tuan rumah maupun tamu, tentunya akan menjadi preseden buruk bagi penyelenggara, yakni PSSI. Jika hal-hal buruk terjadi di arena lapangan maupun di luar arena, maka yang menjadi korban adalah kita semua. Belum lupa dari ingatan kita, seorang pemulung tewas saat mengantri tiket final di loket dekat TVRI.
Euforia penonton yang tak terkendali saat pertandingan berlangsung, bisa berakibat negatif, disforia misalnya. Disforia adalah perasaan sedih, marah, gelisah, dan sensitif karena harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Manifestasi perasaan ini bermacam-macam.
Kita sebagai bangsa Indonesia akan tercoreng di daftar sejarah sepak bola dunia. Aksi anarkis juga akan merugikan kepentingan orang lain, yang tak terkait dengan Piala AFF. Apalagi letak Stadion GBK berada di jantung Jakarta, pusat bisnis terbesar di Asia Tenggara. Bisa jadi, para pelaku saham di lantai bursa, saat ini sedang was-was menunggu hasil pertandingan dan dampaknya. Dalam hitungan jam, pelaku bisnis masih wait and see di penghujung tahun 2010.
Kini yang tersisa adalah perjuangan, dan perjuangan membutuhkan tetesan keringat. Para pemain harus lebih mantap di lapangan GBK daripada saat final leg pertama di Stadion Bukit Jalil Malaysia. Sedangkan para penonton harus lebih sabar mengantri, dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan semua pihak. Selamat berjuang!
Note: Saya pun saat ini sedang berjuang menembus macet dari Bandara Sukarno Hatta menuju Stadion GBK Senayan ^_^
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H