[caption id="" align="alignright" width="300" caption="Petani Cap Tikus"][/caption]
Sebagian warga Sulawesi Utara mungkin mengenal minuman khas Minahasa Cap Tikus. Minuman tradisional yang diolah petani di Minahasa itu, sudah merambah berbagai daerah. Konon, hasil pengelolaan Cap Tikus terdapat potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Tapi industri Cap Tikus tampaknya sedang terusik. Tewasnya empat warga setelah menenggak Cap Tikus di Pasar Karombasan Manado, membuat Kapolda Sulut Brigjen Pol Carlo Brix Tewu mengambil sikap tegas, perang terhadap miras.
Saat ini di kabupaten Minahasa Selatan terdapat sejumlah daerah yang khusus memproduksi Cap Tikus. Tapi hingga kini belum ada data resmi, berapa nilai PAD pemerintah dari industri Cap Tikus. Apalagi kebutuhan Cap Tikus cukup besar, baik yang dikonsumsi oleh warga Minahasa dan sekitarnya maupun permintaan dari luar daerah, seperti Maluku dan Papua.
Jenis minuman ini diproduksi rakyat Minahasa di hutan-hutan atau perkebunan di sela-sela hutan pohon enau. Pohon enau-atau saguer dalam bahasa sehari-hari di Manado-disebut pohon saguer karena pohon ini menghasilkan saguer, atau cairan putih yang rasanya manis keasam-asaman serta mengandung alkohol sekitar lima persen.
Warung-warung makan di Minahasa pada umumnya juga menjual saguer. Bahkan, sebagian orang desa sebelum makan lebih dulu meminum saguer dengan alasan agar bisa makan banyak.
Memang, sudah sejak lama di bumi Minahasa akrab dengan Cap Tikus. Minuman ini memiliki kandungan Alkohol yang cukup tinggi, malah ada yang mencapai kadar alkohol hingga 60 persen. Sayangnya, seringkali memiliki efek samping terhadap konsumen, karena kandungan alkoholnya tidak dapat diterima oleh tubuh. Sebuah produk lokal VIP Beverages Industry misalnya, sudah mengadaptasi cap tikus menjadi minuman dengan kandungan alkohol yang lebih terjaga, disertai cita rasa berkelas untuk semua penikmat minuman sekelas bir.
Terkait kasus miras di Karombasan Manado, hasil penyelidikan sementara polisi menunjukkan, minuman itu telah dicampur spritus. Rupanya, campuran ini bukan dilakukan pihak penjual melainkan para korban yang melakukannya atas dasar kemauan mereka sendiri. Adapun Cap Tikus jika dicampur Spritus akan menjadi Etanol yang merupakan racun, jika dikonsumsi mahluk hidup.
Polisi hingga kini masih menyelidiki  kasus ini, untuk mengetahui  pihak yang harus bertanggungjawab. Tapi saya ragu atas hasil pengungkapan kasus ini, karena mengkonsumsi Cap Tikus sudah menjadi ‘kebiasaan’ yang lumrah bagi sebagian warga di Sulut.
Penanganan Cap Tikus, ibarat berdebat seputar asal-usul telur dan ayam. Tak akan ada solusi yang jitu, jika tak melibatkan semua unsur masyarakat. Ada baiknya, tokoh-tokoh agama turun tangan memberi imbauan kepada masyarakat, agar tidak mengkonsumsi Cap Tikus secara berlebihan. Setidaknya, hal ini berguna untuk meminimalisir kasus Cap Tikus yang mematikan.
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H