Tulisan ini berawal dari tantangan yang diberikan oleh teman saya jurnalis yang di Bintan itu. Sebelumnya dia sudah melempar diskusi ini di lapak chiex-thiego kami nan spesial.
Saya pun juga terlibat dalam diskusi tersebut. Kemudian dia japri saya, “Tulislah tentang Buya Maarif itu! Mungkin itulah bentuk pemikiran yang bisa kita sumbangkan dari rantau untuk kemajuan kampung halaman kita”.
Lalu, saya langsung iyakan saja. Artinya, saya berjanji akan menulisnya. Bukti keseriusan saya, konsep judul tulisan ini langsung saya share ke dia. Dia puas. Saya langsung dapat “jempol” dari dia. Saya pun jadi tenang dan senang.
Namun sayangnya akhir-akhir ini saya cukup sibuk. Load lagi banyak. Janji tidak bisa langsung saya eksekusi. Tapi, saya tetap merasa punya utang sama dia.
Maka, tulisan ini langsung saya tuntaskan. Pas juga ada momennya. Apalagi masih ditemani juga oleh sponsor tetap. Segelas kopi hitam (tanpa gula) tentunya.
Saat ini, tidak ada orang Minang yang tidak kenal dengan nama Buya Maarif. Termasuk saya tentunya. Lengkapnya, biasa orang menyebut Buya Safii Maarif.
Walaupun sejak remaja sudah merantau ke tanah Jawa, nama beliau tetap spesial bagi masyarakat Minang. Baik yang di perantauan maupun yang di ranah Minang sekali pun.
Kalau saya mulai kenal nama beliau ini sejak zaman kuliah. Saya pernah mendengar nama beliau disebut-sebut oleh teman-teman ketika kami diskusi ngalor-ngidul di tempat kos. Maklumlah, anak rantau. Sok-sok bicara politiklah.
Baiklah. Kita mulai saja!
Begini ceritanya. Dalam acara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-76 provinsi Sumatera Barat di Gedung DPRD Sumbar, Jumat, 1 Oktober 2021 lalu, Buya Syafii Maarif diundang hadir secara virtual untuk memberikan pandangannya.
Saya amati, ada 3 poin penting dari yang disorot oleh Buya Maarif. Pertama, pembangunan di Sumbar yang menurutnya jauh ketinggalan jika dibandingkan dengan daerah lain.